Indonesia kembali merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang tahun ini ke-80 pada 17 Agustus 2025. Perayaan dengan tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera Indonesia Maju” ini hadir di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Di balik kemegahan seremonial dan semangat nasionalisme yang digaungkan, bangsa ini menghadapi realitas pahit berupa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, tingginya angka pengangguran, dan kebijakan efisiensi anggaran yang ketat.
Ketika bangsa ini memasuki usia 80 tahun, pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana makna kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh rakyat Indonesia? Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa 42.385 pekerja telah mengalami PHK hingga Juni 2025, naik 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini menciptakan ironi mendalam, di saat negara merayakan kemerdekaan, jutaan warganya justru terjebak dalam ketidakberdayaan ekonomi.
Data BPS per Februari 2025 memang menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun menjadi 4,76%, namun angka ini tidak mencerminkan kualitas pekerjaan dan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan.
Efisiensi Anggaran: Solusi atau Masalah Baru?
Pemerintahan Prabowo Subianto mengambil langkah drastis melalui kebijakan efisiensi anggaran 2025. Penghapusan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) bagi PNS, serta pemutusan hubungan kerja bagi pegawai honorer non-PNS, menjadi bagian dari strategi penghematan yang kontroversial.
Kebijakan ini menimbulkan dilema fundamental. Di satu sisi, efisiensi anggaran diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan mengurangi beban negara. Di sisi lain, pemangkasan yang dilakukan secara agresif tanpa strategi yang matang berpotensi mengguncang perekonomian nasional. Seperti dicatat oleh peneliti ekonomi FEB Unesa, “belanja pemerintah merupakan pendorong utama pertumbuhan, terutama di sektor konsumsi domestik.”
Salah satu contoh nyata dampak kebijakan ini terlihat di Jawa Barat, daerah industri yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional. Gelombang PHK tidak hanya terjadi di perusahaan swasta, tetapi juga merambat ke sektor pemerintahan melalui pengurangan pegawai honorer.
Kasus PT Alenatex di Bandung menunjukkan efek berantai dari kondisi ekonomi yang sulit. Perusahaan ini terpaksa merumahkan 700 karyawan akibat menurunnya daya beli masyarakat dan sulitnya akses pembiayaan.
Kemerdekaan politik yang diraih 80 tahun lalu kini membutuhkan redefinisi dalam konteks ekonomi modern. Proklamasi 1945 tidak hanya tentang lepasnya bangsa ini dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang cita-cita menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Prof. Dr. Mubyarto, ekonom kerakyatan terkemuka pernah mengingatkan bahwa “kemerdekaan sejati baru tercapai ketika seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan secara merata.” Pernyataan ini semakin relevan ketika kita melihat kesenjangan yang masih lebar antara pencapaian makroekonomi dan kesejahteraan rakyat di level mikro.
Data terbaru menunjukkan bahwa meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,87 persen pada kuartal pertama 2025, angka ini tidak serta-merta mengangkat kesejahteraan rakyat. Deflasi di awal 2025, yang sekilas tampak positif, justru mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Tauhid Ahmad, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif hanya akan menciptakan kemerdekaan semu. Kita perlu strategi yang lebih holistik.
Pengalaman negara-negara yang berhasil keluar dari middle income trap seperti Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan pentingnya investasi pada sumber daya manusia dan inovasi teknologi. Kedua negara ini tidak mengandalkan efisiensi anggaran semata, melainkan reorientasi belanja publik untuk mendorong produktivitas jangka panjang.
Malaysia, yang sempat mengalami krisis serupa pada 1990-an, berhasil bangkit melalui kebijakan yang mengutamakan penciptaan lapangan kerja berkualitas dan pengembangan industri berbasis teknologi. Ekonom senior Universiti Malaya, Prof. Jomo K.S. mengatakan efisiensi tanpa visi jangka panjang hanya akan menciptakan stagnasi.
Merajut Ulang Makna Kemerdekaan
HUT ke-80 kemerdekaan Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk merajut ulang makna kemerdekaan dalam konteks kekinian. Kemerdekaan bukan hanya soal kedaulatan politik, tetapi juga kedaulatan ekonomi yang memberikan kesempatan sama bagi seluruh warga negara untuk berkembang.
Beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan:
Pertama, reorientasi kebijakan efisiensi anggaran dari sekadar penghematan menjadi optimalisasi alokasi. Pemotongan anggaran harus disertai dengan realokasi untuk program-program yang langsung menyentuh kesejahteraan rakyat.
Kedua, percepatan program reskilling dan upskilling untuk mengantisipasi perubahan lanskap industri. Revolusi digital membutuhkan tenaga kerja yang adaptif dan berkeahlian tinggi.
Ketiga, penguatan ekosistem UMKM sebagai penyangga ekonomi kerakyatan. Sektor ini terbukti lebih resilient terhadap guncangan ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Memaknai HUT ke-80 kemerdekaan RI di tengah kondisi ekonomi yang sulit bukan berarti kita harus pesimis. Sebaliknya, ini adalah momentum untuk kembali kepada semangat para pendiri bangsa yang tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan.
Kemerdekaan adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen semua pihak. Pemerintah perlu lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan ekonomi yang tidak hanya efisien secara fiskal, tetapi juga berkeadilan sosial. Sementara masyarakat perlu tetap kritis namun konstruktif dalam menyikapi setiap kebijakan.
Di usia 80 tahun, Indonesia memiliki pengalaman dan kearifan yang cukup untuk menavigasi krisis ekonomi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengambil langkah-langkah transformatif yang benar-benar memerdekakan rakyat dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi.
Seperti yang pernah disampaikan Bung Karno, ‘Kemerdekaan hanya dapat dicapai dan dipertahankan dengan perjuangan.’ Di HUT ke-80 ini, perjuangan kita adalah menciptakan Indonesia yang tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga merdeka secara ekonomi, Indonesia yang benar-benar maju dan berkeadilan sosial. (***)