Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Fal. Aravah Windiani, SH., MH., menyoroti isu penting mengenai royalti musik sebagai bagian dari perlindungan hak kekayaan intelektual yang menjadi fondasi industri kreatif nasional. Royalti musik dipahami sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi dari suatu ciptaan atau produk hak terkait, yang wajib dibayarkan ketika karya digunakan secara komersial di berbagai ruang publik seperti restoran, hotel, konser, radio, hingga platform digital.
Apa Itu Royalti Musik dan Bagaimana Mekanisme Pembagiannya di Indonesia?
Aravah menjelaskan bahwa royalti musik merupakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Pembayaran royalti menjadi kewajiban setiap kali karya musik digunakan untuk tujuan komersial, mulai dari restoran, hotel, konser, hingga platform digital. Mekanisme pembagiannya di Indonesia melibatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang bertugas menghimpun dan menyalurkan royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), selanjutnya didistribusikan kepada pencipta lagu, penyanyi/artis, produser rekaman, komposer, penulis lirik, musisi pendukung, hingga penerbit musik.
“Dari total royalti yang dihimpun, sekitar 20% dialokasikan untuk biaya operasional LMKN dan LMK, 7% disimpan untuk pemilik hak yang belum tergabung, sedangkan 73% sisanya dibagi ke para pihak: 50% untuk pencipta lagu, 25% untuk penyanyi/artis, dan 25% untuk perusahaan rekaman,” jelas pakar UMJ, merujuk pada ketentuan distribusi yang berlaku. Namun, dia menekankan bahwa transparansi mekanisme pembagian dan kecepatan distribusi masih menjadi sorotan utama para musisi di Tanah Air.
Bagaimana Peran Strategis LMKN dalam Pengelolaan Royalti?
LMKN sendiri berperan sebagai lembaga non-APBN yang dibentuk berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan tugas menghimpun royalti, mendata lisensi penggunaan lagu, menyusun tarif royalti, dan menyalurkan royalti kepada pemilik hak. LMKN juga menyediakan layanan mediasi dalam sengketa royalti dan melakukan audit keuangan secara berkala. Meski demikian, menurut pakar hukum UMJ, tantangan terbesar terletak pada transparansi pelaporan, rendahnya kesadaran hukum pelaku usaha, dan keterlambatan distribusi akibat sistem yang belum sepenuhnya digital.
“Regulasi yang ada saat ini sebenarnya cukup kuat dengan adanya UU No. 28 Tahun 2014, PP No. 56 Tahun 2021, dan Permenkumham No. 27 Tahun 2025. Tetapi implementasinya masih perlu diperkuat. Banyak pencipta lagu menerima royalti dalam jumlah kecil karena laporan penggunaan musik belum optimal,” ungkapnya.
Polemik ini semakin mengemuka ketika sejumlah pengusaha mengeluhkan kewajiban pembayaran royalti yang dianggap membebani bisnis. Sebagian pelaku usaha menilai tarif royalti perlu disesuaikan dengan skala bisnis agar adil bagi semua pihak. Aravah menyarankan perlunya keterbukaan tarif dan logika distribusi oleh LMKN agar tidak menimbulkan persepsi negatif di kalangan pengguna musik.
Dampak Teknologi Digital dan Platform Streaming
Selain itu, perkembangan teknologi digital dan platform streaming membawa dampak signifikan terhadap sistem royalti. Otomatisasi pelaporan melalui platform seperti Velodiva dan Velostage dinilai dapat mempercepat distribusi secara real-time. Namun, tantangan juga muncul dari dominasi platform asing seperti Spotify dan YouTube yang belum sepenuhnya transparan, serta meningkatnya kasus pembajakan digital.
Sebagai langkah perbaikan, pakar hukum UMJ merekomendasikan audit independen terhadap LMKN dan LMK, percepatan digitalisasi pelaporan, dan revisi regulasi agar mampu mengakomodasi isu baru seperti karya musik berbasis kecerdasan buatan (AI) dan blockchain. Pendidikan publik juga menjadi kunci.
“Masyarakat dan pelaku usaha perlu dididik untuk menghargai hak cipta musik. Sosialisasi oleh Kemenkumham dan DJKI harus diperluas, bahkan bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum seni dan kewirausahaan,” tambah pakar UMJ.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Aravah menegaskan bahwa pengelolaan royalti musik bukan hanya persoalan hukum, melainkan juga bagian dari penghargaan terhadap karya seni dan hak ekonomi para pencipta. Sistem yang adil dan transparan diyakini akan memperkuat industri musik nasional sekaligus melindungi para pelaku kreatif dari praktik yang merugikan.