Bila di akhir masa Majapahit atau menjelang munculnya Kesultanan Islam Demak, muncul ‘Candra Sengkala’ (Penanda Zaman) berbahasa Jawa Kuna, Sirna Ilang Kertaning Bumi (Hilangnya Kesejahteraan Dunia). Penanda ini menjadi titik awal perubahan zaman yang dahysat di Nusantara. Imperium Majapahit yang eksis semenjak 10 November 1293 M kala sengkala ini dibuat pamornya perlahan sirna. Peradaban dan kekuasaan baru muncul. Kesultanan Demak Bintoro perlahan naik menggantikannya.
Bila dilihat sengkala itu memang sebuah penanda komunikasi yang sederhana. Kalimatnya memang seperti larik liris bait puisi elegi romantis. Penuh ekpresi cinta platonis yang meratap- rapat. Di sana ada kesedihan yakni dengan dipakainya karta ‘sirna’ yang berarti tiada. Pilihan kata ini pada saat yang sama tersambung dengan sebuah tragedi, yakni hilangnya kesejahteraan dunia (ilaning kertaning bumi).
Hal itu semakin bermakna sebagai ‘luka-lara’ dari sebuah era. Apalagi bila kemudian memahami makna lain dari kalimat tersebut. Dalam khazanah budaya Jawa sengkala itu ternyata identik dengan sebuah angka yang menunjukkan tahun saka: Sirna berarti 0, ilang berati 0, kerta berarti 4, dan bumi itu bermakna 1. Maka kalau angka-angka tersebut digabung dan dibalik maka akan menunjukkan bilangan 1400, yakni angka tahun 1400 Saka. Bila kemudian dipandankan dengan tahun Masehi, maka angka ini menunjuk kepada tahun 1478.
Candra Sengkala atau sengkala ‘sirna ilang kertaning bumi’ inilah yang disebut menjadi penanda besar perubahan zaman, yakni runtuhnya Majapahit yang prosesnya terjadi secara perlahan tapi pasti. Kejatuhannya makin cepat karena di kerajaaan saat itu terjadi perang saudara yang dahsyat dan melelahkan, yakni perang Paregreg. Akhirnya, pada dekade pertama abad ke-16, Majapahit kemudian benar-benar menghilang. Pamor kekuasaan digantikan dengan anak lelaki Raja Majapahit terakhir dari ibu yang merupakan putri dari Tiongkok, Raden Fatah.
Selarik kalimat pada sengkala itu kini benar terbukti sebagai jejak komunikasi berakhirnya sebuah peradaban. Setidaknya sengkala ini dalam komunikasi mempunyai makna refesensial, yakni makna yang menunjukkan referensi atau acuan suatu kata pada kondisi di kenyataan, yakni penghujung kekuasaan Majapahit.
Pada hari-hari terakhir ini dalam dunia komunikasi, sengkala ‘Sirna Ilang Kertaning Bumi’ juga berarti menjadi sandi atau pesan penada berakhirnya sebuah era. Memang bukan dikaitan dengan angka tahun, namun lebih dilekatkan pada esensi perubahan media sebagai sarana berkomunikasi manusia. Kala itu bertepatan akhir masa peradaban Siwa-Budha di Jawa berganti menjadi era peradaban Islam. Salah satu yang muncul setelah era Majaphit berpindah ke Demak adalah munculnya penggunaan alat komunikasi bedug sebagai sarana penanda datangnya waktu shalat. Padahal sebelumnya bedug adalah benda tetabuhan yang berasal dari peradaban Tiongkok.
Pada masa kini, situasi ini yang paling mutakhir tentang perubaan sarana komunikasi di Indonesia terekam dari menghilangnya majalah mingguan bergengsi yang selama lebih dari tiga dasa warsa telah eksis, yakni Majalah Gatra. Melalui surat edaran yang tersebar di berbagai media, sepekan silam para punggawanya menyatakan ‘pamit pralaya’, pergi untuk selamanya. Maka ke depan rakyat Indonesia tidak akan lagi bisa mendapati media Gatra, baik itu dalam versi cetak maupun daring atau webnya.
Jelas, ‘pamit pralaya’ Gatra memang seperti menjadi penanda untuk ke sekian kalinya mengenai berakhirnya sebuah era media. Mau tidak mau, dipaksa atau tidak, media konvensional berubah menjadi media baru yang mengandalkan jaringan internet. Sebagai konsekuensinya, maka dunia media massa berubah dari media yang monoton hanya satu platform, kini menjadi multi platform. Imbasnya lagi kaidah jurnalisme media pun ikut berubah, dari yang sebelumnya mengandalkan penyaringan, kedalaman, dan semua hukum-hukum idealnya, berubah lebih mengandalkan kecepatan dengan segala risikonya negatifnya. Bahkan di kalangan media, apa yang terjadi di masa kini adalah kenyataan bahwa tak ada lagi cukup waktu untuk berpikir dalam menyebarkan sebuah hasil komunikasi. Semuanya serba cepat, bahkan sangat cepat, serta secara masif menyebar ke seluruh penjuru dunia selama 24 jam terus menerus. Istilah inilah yang kemudian pertama kali disebut seorang jurnalis Inggris pemenang hadiah Pulitzer, Howard Rosenberg dan dan Charles S. Feldman, dengan ujaran: No Time to Think.
Sama dengan sengkalan dari sandi ‘Sirna Hilang Kertaning Bumi’, di era komunikasi pada zaman milenial ini istilah No Time to Think juga berubah seolah menjadi mantra ajaib penanda perubahan zaman di bidang komunikasi media. Bila dahulu Raja Majapahit terakhir, yakni Prabu Brawijaya V, terkena imbas dari sengkalan berbahasa Jawa Kuno itu, maka di masa kini Perdana Menteri Kerjaan Inggris, Tony Blair, ganti merasakan akibatnya dari ujaran berbahasa Inggris dari Rosenberg dan Feldman tersebut. Tak beda dengan Brawijaya V, Blair seakan tertimpa tulah mantra berubahnya era komunikas yang berasal dari ujaran ‘No Time to Think’ ini.
Rosenberg dan Feldman yang juga merupakan wartawan yang kerap meliput kegiatan Tony Blair yang berkantor di 10 Downig Street, City of Wesminter, London menceritakan betapa Blair kebingungan akan efek dari sebuah pernyataan yang di media masa kini. Hal itu adalah sebuah pernyataan yang kadang dia katakan secara spontan dan terburu-buru sehingga tak mendalam, bisa muncul dan terus berputar dan meluas menjadi berita yang dikutip di seluruh media di dunia selama 24 jam penuh tanpa dia bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Kebingungannya itu makin menjadi nyata kala dia hendak membantahnya seolah tak berguna karena sudah terlanjur diketahui publik dunia. Efeknya menjadi sangat susah untuk membantah sebuah berita yang telah menjadi viral di media masa kini. Bagi Blair tentu saja situsi ini terasa seperti dunia seperti akan segera runtuh.
Semeua itu tentu saja persis yang dirasakan Prabu Brawijaya V yang kala sengkalan itu ditulis telah merasa bila kejahteraan menghilang dari kerajaan Majapahit. Jadi di zaman dahulu sandi atau sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi ternyata befungsi sebagai penanda berakhirnya sebuah era, sedangkan kata itu di era komunikasi kontemporer pun sudah berubah layaknya kalimat No Time to Think. Ujaran ini pun mempunyai makna referensial yang sama dengan sengkalan berbahasa Sansekerta Sirna Ilang Kertaning Bumi. Frase No Time to Think menjadi kalimat yang juga bermakna sebagai penanda berakhirnya sebuah era, yakni masa media konvensional (media cetak).
Lalu bagaimana efeknya bagi dunia komunikasi di kalangan umat Islam? Maka jawabnya, sederhana saja. Umat Islam makin dalam hidup dalam suasana culture schok di tengah kepungan tantangan komunikasi di era milenial. Muslim semakin menderita karena jarak adaptasinya terhadap media komunikasi baru ini semakin jauh tertinggal dari publik di Barat. Bayangkan, warga di dunia Barat sudah mengenal media masa cetak semenjak mesin ini ditemukan Johanes Gutenberg di Jerman pada tahun 1450 M. Sedangkan umat Islam baru mulai akrab dengan media cetak pada dekade awal abad ke 20.
Celakanya, ketika umat Islam mulai kenal media massa cetak, secara perlahan pada saat yang sama masyarakat Barat mulai meninggalkannya karena telah muncul sarana komuniasi baru, yakni radio dan televisi pada pertengahan dekade kedua tahun 1900. Lebih celaka lagi, ketika umat Islam sudah akrab dengan media cetak, radio, dan televisi, pada dekade awal 1980-an, masyarakat Barat mulai beralih ke media internet. Perkembangan terakhir, ketika umat Islam belum ‘puguh’ pada media internet, peradaban Barat selaku penguasa dunia, mulai beralih ke media arfifical intelegent (AI). Maka ‘culture shok’ –bahkan sudah mengarah hanya sekedar menjadi korban– makin merajam umat Islam.
Lalu apa yang menjadi biang keladi semua ini? Jawabnya, ternyata pernah disebut seorang Asisten Profesor dari kajian studi jurnalisme dan media dari Universitas Colorado di Boulder Amerika Serikat, Nabil Echchaibi. Dia menyatakan: Historians occur that the late introduction of print in the Muslim world (the nineteenth century) was not due to the accessibility of printing presses or to an irrevocable phobia of mechanical technologies. Muslims eagerly adopted military and farming technologies and were not averse to innovation. Surely, many Muslims scholars and scribes were wary of reproducing sacred scripture and religious manuscripts for fear of heresy.
(Para sejarawan berpendapat bahwa keterlambatan pengenalan mesin cetak di dunia Muslim (abad ke-19) bukan karena ketidakmampuan mesin cetak atau fobia teknologi mekanik yang tidak dapat dibatalkan. Muslim memang bersemangat mengadopsi teknologi militer dan pertanian serta tidak menolak inovasi. Namun dalam soal media ini berbeda. Tentunya karena banyak ulama dan cendikiawan Muslim bersikap berhati-hati dalam mereproduksi pikirannya tentang kitab suci dan manuskrip agama lainnya (tulisannya) karena takut akan dituduh melakukan bid’ah).
Jadi jelas di sini jawabnya, penyebab keterlambatan umat Islam dalam bidang komunikasi karena umat Islam takut terkena tuduhan pembuat bid’ah dari pihak yang punya otoritas keagamaan. Umat Islam dahulu tidak bebas menyebarluaskan pikirannya karena bisa dituduh sebagai pembuat onar. Nah, apakah sekarang masih bisa dilanjutkan di kala semua orang bebas menyatakan sikapnya tanpa menunggu jeda waktu dan tanpa perlu waktu untuk berpikir. No Time to Think ternyata mantra ajaib di era komunikasi masa kini…!