Wawancara dengan Ariati Dina Puspitasari, Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah
Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember menjadi momen bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan kilas balik sejarah kebangkitan gerakan perempuan. Budaya patriarki yang kental di masa lalu, dan bahkan masih kentara hingga sekarang, menjadi momok tersendiri bagi perempuan. Bagaimana tidak? Dahulu perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki nilai, melainkan sebagai makhluk yang posisinya di bawah laki-laki. Hal tersebut terlihat dari bahasa dan istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut orang dengan kelamin vagina. Misalnya dalam adat budaya jawa ada sebutan wanita dan wadon. Wanita berasal dari Bahasa Jawa yaitu wanito, singkatan dari wani ditoto, yang berarti berani ditata atau diatur. Sedangkan istilah wadon berasal dari Bahasa Kawi Wadu yang berarti kawula atau abdi, yakni orang yang diciptakan di dunia untuk menjadi abdi laki-laki. Oleh karenanya harus patuh pada laki-laki. Kedua istilah tersebut memperlihatkan adanya ketidaksetaraan antara dua makhluk ciptaan Tuhan tersebut. Penggunaan bahasa dan istilah tersebut mirip dengan apa yang dikaji oleh D Jupriono, Dosen FISIP Universitas 17 Agustus 1947 Surabaya, tentang Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia (Jurnal Parafrase Vol. 10 No.01, tahun 2010). Ketimpangan itulah yang menyebabkan perempuan kurang memiliki keberanian dalam melakukan aktivitas yang tidak dianggap sebagai wilayahnya.
Menyambut momen Hari Ibu, penulis menghubungi Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah (NA), Ariati Dina Puspitasari, pada Senin (19/12) melalui fasilitas layanan pesan singkat untuk membicarakan kiprah Nasyiatul Aisyiyah dan memaknai Hari Ibu yang rutin diperingati setiap tahun.
Sebelum menjadi pimpinan NA, ibu dua anak ini ternyata telah mengenal NA jauh sebelumnya, di tahun 2004, saat Beliau aktif di Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kota Yogyakarta.
Saya sering rapat dan ikut kegiatan bersama dengan mbak-mbak NA. Kebetulan kami kantornya bersebelahan, jadi dengan NA sudah kenal lama. Bahkan saat saya masih di IPM pernah diajak untuk ikut membantu jadi panitia Muktamar NA di Makassar tahun 2008.
Sebagai kader Muhammadiyah, alumni Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta ini tergerak untuk melanjutkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Ibu Ariati akhirnya bergabung dengan NA, yaitu di Pimpinan Wilayah NA Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui tracer and transfer kader dari PP IPM ke PWNA DIY.
Ideologisasi untuk berjuang di persyarikatan Muhammadiyah sudah melekat sejak di sekolah dan saya merasa perlu untuk terus melanjutkannya.
Berbicara tentang sosok perempuan, Ibu Ariati, yang aktif sebagai dosen di Universitas Ahmad Dahlan ini, lugas mendefinisikan perempuan sebagai makhluk. Menurutnya, perempuan adalah makhluk yang diciptakan dengan kelebihan memiliki kodrat untuk bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Namun begitu, peran perempuan tidak terbatas pada wilayah domestik. Sebagaimana Beliau menjalankan perannya sebagai seorang ibu, sekaligus dosen, dan juga sebagai aktivis yang menggerakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di wilayah sosial masyarakat. Ibu Ariati memiliki strategi dalam mengelola peran di rumah sebagai wilayah domestik dan peran di masyarakat sebagai wilayah komunitas yang lebih luas.
Saya dan suami memaknai peran kami di rumah tangga sebagai mu’asyaroh bil ma’ruf, yaitu kerjasama, saling menyeimbangkan peran dalam mengelola rumah tangga, kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan. Suami menggantikan peran bilamana saya meninggalkan rumah untuk keperluan kerja ataupun organisasi. Selain itu skala prioritas atas suatu hal turut menjadi strategi saya dalam menentukan apakah saya perlu mengutamakan rumah atau umat, karena adakalanya peran kita di rumah tidak bisa ditinggalkan.
Nasyiatul Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang tentunya berupaya untuk memberikan pendidikan untuk kemajuan perempuan. Sejak awal kelahirannya, NA menciptakan ruang bagi perempuan untuk belajar, berkembang, maju, dan berdaya. Hingga saat ini NA telah berkontribusi untuk kemajuan perempuan melalui bidang kesehatan, pendidikan, hingga kesenian. Dalam menyebarluaskan dakwah, NA memiliki berbagai strategi baik fomal maupun kultural.
Kami menggunakan berbagai strategi, baik secara formal maupun kultural. Cara formal yang kami lakukan seperti menggunakan pelatihan-pelatihan, pengajian, dan kegiatan-kegiatan seremonial yang masih dianggap perlu. Namun sebagaimana amanah Muktamar, dakwah NA perlu multisegmen, multidimensi dan multimedia. Maka NA berupaya memasifkan dakwah kreatif tersebut. Mohon doanya.
Melalui berbagai program, NA sangat konsen terhadap perempuan dan anak. Program yang kini sesang gencar dilakukan adalah Gerakan Ramah Perempuan dan Anak. Menurut Ibu Ariati, NA memaknai pentingnya peran keluarga dalam membentuk generasi emas. Itulah yang kemudian mendorong NA memberikan pendidikan bagi keluarga muda melalui Gerakan Keluarga Muda Nasyiyatul Aisyiyah.
Gerakan Keluarga Muda Tangguh Nasyiatul Aisyiyah juga terus akan dikawal sebagai sebuah strategi yang tidak hanya mendidik kaum perempuan, tetapi juga laki-laki, serta siapapun yang menjadi ekosistem dalam sebuah keluarga.
Melalui banyak gerakan dan program yang dijalankan, NA terus berjuang untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan adat dan budaya. Salah satu momen bersejarah bagi perempuan adalah kebangkitan gerakan perempuan yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Hari yang dimaknai orang sebagai hari spesial bagi seorang ibu yang sangat berjasa bagi kehidupan.
Hari Ibu merupakan hari dimana perempuan se-Nusantara pertamakali berkumpul untuk menyuarakan aspirasi dan ide untuk kemajuan perempuan. Saya memaknai bahwa Hari Ibu memiliki spirit kesetaraan perempuan yang masih perlu terus diperjuangkan. Sekalipun telah cukup banyak masyarakat yang melek terhadap isu tersebut, namun pada implementasinya kejahatan dan penindasan kepada kaum perempuan masih banyak terjadi, baik di ranah domestik maupun publik, baik di kalangan proletar maupun bangsawan.
Isu kesetaraan perempuan yang tidak pernah habis dimakan usia karena selalu relevan dengan realita telah menjadi suluh gerakan NA untuk terus memperjuangkan kemajuan perempuan. Budaya patriarki yang masih kentara berakibat pada terbentuknya superioritas laki-laki atas perempuan. Masih banyaknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak merupakan pukulan keras bagi masyarakat. Beragam kasus tersebut dapat dijadikan refleksi bagi masyarakat tentang Hari Ibu yang semestinya menjadi catatan, betapa pentingnya gerakan perempuan utuk terus memberikan pendidikan, perlindungan, dan pendampingan tidak terbatas pada perempuan tapi jauh lebih luas lagi. Sebagai Ketua Nasyiyatul Aisyiyah, dalam rangka memperingati Hari Ibu Nasional 2022, Ibu Ariati berpesan pada para perempuan di seluruh Indonesia.
Mari bersama-sama belajar menjadi pribadi yang lebih arif dalam menghadapi dinamika kehidupan. Kehidupan ini sejatinya adalah perjalanan mencari wujud asli diri kita. Sandarkan segalanya kepada Tuhan, karena kepadaNyalah kita akan kembali.
Penulis : Dinar Meidiana
Editor : Tria Patrianti