Perempuan Perlu Bebaskan Diri dari Larangan yang Tidak Masuk Akal

Debbie Affianty, M.Si,
Debbie Affianty, M.Si., Steering Committee Working Group on Women and P/CVE (WGWC), Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ. 

Wawancara bersama Debbie Affianty., M.Si., Steering Committee Working Group on Women and P/CVE (WGWC), Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ. 

Pembahasan tentang kesetaraan gender seakan tak ada habisnya. Hingga kini masih saja ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, walaupun dahulu budaya patriarki pernah didobrak oleh sosok-sosok perempuan hebat.

Memang perempuan masa kini lebih bebas mendapatkan akses pendidikan, mengasah potensi, serta turut dalam upaya membangun peradaban, namun gagasan tentang kesetaraan perempuan masih perlu digaungkan. Masih banyak kebijakan formal struktural yang tidak menunjukkan nilai kesetaraan, seperti kebijakan cuti kerja bagi perempuan yang sedang berada di masa melahirkan dan menyusui.

Belum lama ini Penulis berbincang dengan Debbie Affianty, M.Si., tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan di Indonesia. Dosen Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, ini dikenal aktif dalam forum-forum yang fokus pada isu perempuan dan gender, aktif juga dalam pembinaan mantan narapidana perempuan dan juga merupakan Pengurus Pimpinan Pusat Aisyiyah.

Kami berbincang tentang arti penting perempuan dalam ruang publik dan kontribusinya untuk kemaslahatan umat.

Menurut Debbie, sempitnya akses bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang, selain disebabkan oleh budaya patriarki, juga didorong oleh sistem dan kebijakan formal struktural dan kurangnya rasa percaya diri dalam diri perempuan.

“Semua perempuan perlu membebaskan diri dari belenggu-belenggu dan larangan-larangan yang tidak masuk akal, misalnya tentang perempuan tempatnya hanya di rumah. Laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan akses yang sama dalam hal pendidikan, layanan-layanan dasar, hidup nyaman dan mengaktualisasikan diri dalam bentuk karya, pengakuan dari publik atau orang di sekitar,” ungkap Debbie saat diwawancara di Gedung FISIP UMJ, Selasa (11/04/2023).

Kebijakan struktural yang berlaku di negara ini secara tidak langsung mengawetkan budaya patriarki, sebab dalam tataran pengambilan keputusan masih didominasi oleh laki-laki. Emansipasi yang menjadi inti gagasan RA Kartini akan sulit direalisasikan jika perempuan masih terbatas pada produk kebijakan budaya patriarki.

Debbie menjelaskan bahwa minimnya jumlah perempuan di kursi parlemen, tempat peraturan dirumuskan, disebabkan oleh dua faktor.

Pertama adalah sistem dan budaya yang berpihak pada laki-laki. “Sistem seperti itu dibangun oleh pemikiran patriarki yang menganggap perempuan jadi makhluk tidak diperhitungkan atau secondclass citizen. Budaya itu yang membentuk citra di masyarakat bahwa memilih perempuan akan membuat parlemennya tidak kuat. Itu yang sebenarnya hanya persepsi, belum bisa dibuktikan,” katanya.

Faktor kedua berasal dari dalam diri perempuan itu sendiri, seperti kurangnya bekal untuk merebut kursi parlemen. Dalam pemilihan legislatif, tidak sedikit perempuan yang memiliki kecerdasan namun tidak maksimal dalam merumuskan dan melakukan strategi komunikasi dan membaca peluang perolehan suara. Oleh karenanya Debbie mengatakan perlu ada edukasi bagi partai politik bahwa affirmative action yang dilakukan melalui UU No. 12 Tahun 2003 tidak cukup.

Partai politik sebagai kendaraan bagi calon legislatif harus memberikan peluang yang sama dan dukungan penuh untuk perempuan. Sementara yang kerap terjadi adalah perempuan dijadikan pion untuk mendulang massa di kelompok-kelompok perempuan. Namun kemudian suara yang terkumpul dialihkan kepada calon lain yang berada pada nomor urut pertama.

“Hambatan-hambatan itu harus didobrak. Kita harus bisa mengubah sistem di partai atau di negara ini agar perempuan berhak dijadikan sebagai calon ‘jadi’,” ungkap dosen yang pernah menjadi anggota Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) 2015-2020 ini.

Debbie menuturkan bahwa ketika menjadi pejabat publik seorang perempuan harus bisa berprestasi dan menunjukkan pada publik bahwa perempuan mampu. Namun apabila di tengah jalan menemukan hambatan kultural, struktural, maupun personal, perempuan perlu mendobraknya dengan cara membekali diri dengan cara berpikir out of the box untuk mencari dan menciptakan peluang lain.

“Perempuan harus dibekali lewat pendidikan sekolah. Perempuan juga boleh jadi ketua OSIS atau ketua panitia acara, bukan hanya jadi tim konsumsi. Ada yang bilang perempuan emosional dalam pengambilan keputusan. Padalah emosi kadang diperlukan. Dalam membuat kebijakan harus ada empati. Banyak pendekatan dan perspektif. Misalnya, kita tidak bisa langsung memecat seorang yang tidak hadir pada acara penting. Siapa tahu dia masih punya bayi, mungkin dia orang tua tunggal, dan lain-lain. Untuk itu perlu empati,” papar Debbie.

Proses pengambilan kebijakan justru sangat memerlukan aspek emosi agar dapat menghasilkan kebijakan yang lebih bijak dan sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat kebijakan.

“Itu pentingnya perempuan, karena ketika perempuan ada di posisi pembuat kebijakan dia akan memikirkan orang lain. Tidak hanya memikirkan dirinya. Itu yang tidak dimiliki oleh laki-laki,” kata Debbie

Melihat dari latar belakang agama, semestinya masyarakat Indonesia dapat lebih terbuka dalam hal kesetaraan gender. Hal tersebut dikarenakan agama Islam memosisikan perempuan setara dengan laki-laki, bukan posisi depan-belakang atau atas-bawah, melainkan berdampingan. Debbie, yang juga menjabat Kepala LIGS (Lab Prodi Politik) FISIP UMJ, menegaskan bahwa dalam ajaran Islam, perbedaan perempuan dan laki-laki terletak pada ketaqwaannya.

“Di Muhammadiyah ada risalah Islam berkemajuan, salah satunya untuk memajukan peran perempuan. Insya Allah semua berdasarkan pada prinsip pembaruan berdasarkan masalah dan kebutuhan umat saat ini. Ketika ulama mengikuti ajaran moderat, maka akan terinspirasi bahwa perempuan adalah makhluk setara, memiliki hak yang sama, dan kesempatan yang sama untuk memaksimalkan potensi dirinya,” jelasnya.

Apabila mengikuti paham keagamaan kolot yang hanya bertumpu pada satu pemikiran, tidak memungkinkan adanya inovasi, maka yang terjadi adalah penggunaan ayat-ayat sesuai kepentingannya saja. Misalnya dengan menganjurkan perempuan untuk diam saja di rumah. Padahal menurut Debbie, ada tafsir lain yang mendorong perempuan untuk ikut memajukan umat. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai perempuan tiang negara.

“Jika perempuan maju, otomatis anaknya akan maju. Anak cerdas itu bukan karena bapak, tapi karena ibu, dari DNA nya saja dari Ibu. Kalau diam saja di rumah terus masuk surga, itu rugi saja. Sementara dia membuat mubazir potensi yang diberikan Allah SWT. Dia membiarkan potensi kemaslahatan umat itu terpendam di dalam dirinya. Padahal diamanahkan Allah untuk digunakan,” lanjutnya.

Menurut Debbie, keluarga memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman dan pendidikan pada anak tentang kesetaraan. Orang tua harus menanamkan nilai kesetaraan dengan memberikan hak dan kewajiban sama antara anak laki-laki dan perempuan.

Sementara itu, lingkungan pendidikan dapat menjadi pelopor untuk mewujudkan kesetaraan. Perguruan tinggi dapat menerapkan kebijakan responsive gender yang membuka akses dan kesempatan bagi dosen dan tenaga kependidikan perempuan untuk memajukan karir.

Apa pun kondisinya, perempuan punya peluang yang sama dengan dosen dan tenaga kependidikan laki-laki untuk maju, karena punya otak yang sama. Maju dalam arti karir, kesempatan mengembangkan pengetahuannya, menduduki jabatan-jabatan penting. Misalnya menjadi wadek, dekan, bahkan rektor. Di Indonesia juga begitu, perempuan perlu diberikan kesempatan untuk mengisi jabatan-jabatan penting.

Terakhir, sebagai Steering Committee Working Group on Women and P/CVE (WGWC Periode 2020-2024), Debbie berpesan agar perempuan Indonesia dapat kontemplasi diri dan membaca sejauh mana potensi diri dioptimalkan untuk kemaslahatan umat. Pada zaman ini, akses sudah lebih mudah didapat ketimbang zaman Kartini yang sangat terbatas. Tergantung sejauh mana kita dapat memanfaatkan fasilitas untuk memaksimalkan potensi untuk kemaslahatan umat. 

 

 

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/