Cahaya Untuk Tunanetra

Ahmad Hilmy Almusawa, mahasiswa disabilitas tunanetra berprofesi sebagai barista
Ahmad Hilmy Almusawa saat meracik kopi di Mata Hati Koffie.

Ahmad Hilmy Almusawa, Barista Tunanetra, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FIP UMJ.

Meracik kopi dengan mata tertutup adalah tantangan yang diberikan pada penulis dan tim reportase Kantor Sekretariat UMJ (KSU) ketika bertemu dengan Ahmad Hilmy Almusawa, mahasiswa tunanetra Fakultas Ilmu Pendidikan UMJ yang juga berprofesi sebagai barista di kedai kopi miliknya, Mata Hati Koffie.

Sebelum tiba di kedai kopi yang berlokasi di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan tersebut, penulis  tidak bisa membayangkan bagaimana caranya penyandang tunantera meracik kopi dengan menggunakan mesin pembuat kopi (coffee maker). Makanya ketika Hilmy, demikian ia disapa, melontarkan tantangan tersebut penulis merasa ragu. Mencoba melakukan aktivitas ringan dengan mata tertutup saja sudah kewalahan, apalagi membuat kopi bak barista. Mungkin saja nanti menyenggol gelas hingga pecah, atau tangan tersiram air panas. Apalagi ini bukan hanya menyeduh kopi sachetan dengan air panas, tapi meraciknya menggunakan coffee maker.

Hilmy adalah pria kelahiran 16 Januari 1998 yang mengaku sebagai pecinta kopi. Tidak heran jika ia akhirnya mengubah teras rumahmya menjadi sebuah kedai kopi. Saat tim penulis datang, suasana tampak sepi. Ternyata hari itu adalah jadwal kafenya libur. Dijelaskan Hilmy, hari itu mereka hanya melayani pemesanan daring dan  khusus menyambut kehadiran tim reportase KSU. Kami sangat tersanjung.

Siang itu Hilmy tampak sedang melayani pembeli kopi dari salah satu aplikasi pesan antar berseragam hijau. Satu per satu botol berisi kopi 1liter racikan Hilmy, berpindah tangan. Selesai melayani pembeli, Hilmy segera menghampiri kami dan mengajak duduk bersama. Ikut duduk di samping Hilmy,   Ibunda tercintanya yang bernama Hikmah.

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia ini menyukai kopi sejak usia Sekolah Dasar. Namun, pada waktu itu kopi yang dapat dijangkaunya sebatas kopi bungkusan. Merasa ketagihan dibarengi penasaran dan keingintahuan yang tinggi, Hilmy semakin jatuh cinta pada kopi. Puncaknya, tahun 2017, Hilmy mempelajari tentang kopi bersama pemilik Tadi Pagi Coffee & Roastery bernama Teguh AW. Bahkan sebelum akhrinya berlatih meracik kopi, Hilmy lebih dulu bekerjasama dengan Teguh dalam bisnis menjual biji kopi.

Dulu masih kopi-kopi sachet, belum tahu mesin. Lama-lama belajar mesin kopi. Awalnya pakai drip biji kopi dipacking lalu dijual online, mereknya  Blend Coffee Me. Saya lebih suka kopi arabika karena asamnya dan lebih berasa kopi. Kalau robusta itu pahitnya beda. Lidah saya terasa bersahabat aja dengan arabika. Kalo tips (untuk memilih kopi), dari aroma atau penciuman.

Saat kami berbincan, tampak seorang barista yang juga disabilitas low vision sedang sibuk di balik mesin pembuat kopi. Beberapa menit kemudian, segelas es kopi dan segelas kopi hitam sudah tersaji untuk kami. Aroma kopi yang sedari tadi tercium samar-samar, semakin mendekat, pekat, dan semakin masuk ke hidung. Nikmat sekali. Sruput suara kopi akhirnya jadi suara latar selama obrolan berlangsung.

Hilmy mengidap glaukoma sejak lahir, tetapi masih mampu melihat walaupun samar-samar. Namun sejak lulus SD, mata Hilmy sudah tidak dapat berfungsi sebagai indera penglihatan. Sejak saat itu, samar yang sudah bersama Hilmy sejak lahir kini tak lagi menemani. Beruntung, Hilmy dibesarkan di keluarga yang sangat suportif. Ide membuka kafe juga tak lepas dari dukungan besar ibunda tercinta. Pada awal 2020, teras rumah disulap jadi kedai kopi. Mata Hati Coffee mulai menyebarkan aroma kopi di sekitar Pondok Cabe.

Terus maju (buka) usaha kopi, karena ada support dari teman-teman dan orang tua. Latihan. Saya tidak langsung bisa, saya belajar dan meracik dahulu dengan mesin kopi, lamakelamaan terbiasa.

Mesin yang digunakan Hilmy pada dasarnya sama dengan mesin kopi yang digunakan barista pada umumnya. Namun, Hilmy memesan mesin kopi sesuai dengan kebutuhannya sebagai penyandang tunanetra. Ketika Hilmy mengajak kami ke tempat meracik kopi, terlihat deretan peralatan membuat kopi layaknya kafe pada umumnya. Perbedaan terlihat dari metode pengukuran bahan dan bantuan alat pengatur waktu.

Yang membedakan mesinnya yaitu ada timer, ada (botol) pump buat (takar) gulanya, sedangkan untuk menakar biji kopi kita pakai sendok takar.

Hilmy mencoba merancang alat kerja yang dapat digunakan dengan mudah oleh tunanetra. Melalui Mata Hati Coffee, Hilmy menularkan semangatnya ke teman-teman tunanetra lain. Sejak Mata Hati Coffee berhasil memikat lidah pelanggan melalui cita rasa, Hilmy menggaet tunanetra lainnya untuk ikut berkarya lewat segelas kopi. Hilmy tak pelit ilmu. Setelah mendapat dorongan dari ibunya, ia mengadakan kelas meracik kopi bagi tunanetra setiap Sabtu dan Minggu. Menurutnya cara ini bisa membantu teman-teman tunanetra untuk bisa berdaya. Pelatihan yang diberikan tentu berbeda dengan pelatihan orang dengan mata awas. Ibu Hikmah mendorong Hilmy yang menjadi tutor agar pelatihannya diberikan sesuai dengan versi tunanetra.

Pertama, setiap kali ada yang ke sini, saya kasih tau cara bikin kopi menggunakan mesin yang berbeda ini. Sama dengan apa yang saya dapatkan dari orang-orang sekitar, saya juga kasih support dan sharing (ke tunanetra lainnya). Dalam sesi pelatihan, saya ajarin mereka bikin kopi, setiap Sabtu-Minggu.

Pelatihan tersebut digelar mandiri tanpa melibatkan donatur. Hilmy tidak hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan mesin pembuat kopi khusus tunanetra, tapi juga cara adaptasi agar tidak ada tumpahan dan sebagainya. Dalam kurun waktu satu bulan, peserta pelatihan penyandang disabilitas tunanetra ini sudah dapat meracik kopi. Kini, kafe yang dikelola Hilmy bersama ibundanya ini melibatkan penyandang tunanetra untuk tidak hanya meracik kopi, tapi juga melayani pembeli, mulai dari saat datang hingga melakukan pembayaran di kasir.

Kelihaian Hilmy dalam memberikan pelatihan bagi teman-teman tunanetra tidak lepas dari ketertarikannya terhadap dunia pendidikan. Hal itu pula yang mendorong Hilmy untuk tidak berhenti menempuh pendidikan. Tak heran mengapa Hilmy memilih untuk kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan UMJ.

Pertama, saya tertarik dengan dunia pendidikan. Saya senang Bahasa Indonesia. Saya senang mengajar. Saya tertarik dengan dunia guru.. Kedua, jaraknya dekat dari rumah saya ke kampus UMJ. Dulu kan saya di Lebak Bulus, ke kampus juga dekat pakai Ojek Online

Awal mendaftar kuliah di UMJ, Hilmy tidak tahu bahwa di sini ada cukup banyak mahasiswa tunanetra.  Hikmah menjelaskan bahwa keberadaan mahasiswa tunanetra di UMJ menjadi satu kekuatan karena membentuk satu komunitas yang memfasilitasi kebutuhan mahasiswa disabilitas. Hilmy menjadi salah satu mahasiswa tunanetra yang turut membersamai pembentukan Disabled Care Community (DCC), komunitas yang sangat berperan penting bagi keberlangsungan aktivitas caturdharma Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah bagi mahasiswa disabilitas di UMJ.

Keberadaan Hilmy dan mahasiswa disabilitas lainnya perlu dibarengi dengan peran lingkungan sosial. Dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, karyawan, dan seluruh civitas akademika perlu memahami perannya masing-masing dalam hidup berdampingan dengan disabilitas. Beruntung, Hilmy juga merasa mendapat pendampingan dari dosen-dosennya. Salah satunya Ibu Khairunnisa, yang disebut Hilmy dan Hikmah, sebagai dosen yang sangat peduli dengan Hilmy. Ibu dan Anak ini juga berharap agar kampus UMJ bisa terus berkembang dan memberikan fasilitas maksimal untuk mahasiswa disabilitas.

Ketemu temen-temen disabilitas itu alhamdulillah, bersyukur banget karena memang itu yang dibutuhkan. Support  sesama disabilitas dan saling merangkul. Dari pihak kampus alhamdulillah saya rasa sudah cukup mendukung.

Laki-laki yang gemar membaca novel ini juga aktif di luar kampus bersama anggota DCC dalam hal belajar, menggali potensi dan keahlian. Salah satunya menjadikan Mata Hati Kofie sebagai laboratorium sekaligus inkubator segala hal. Selain keterampilan, teman-teman disabilitas juga dapat mempelajari terkait bisnis, hospitality, dan banyak hal lainnya.  Besar sekali harapan Hilmy terhadap keberlangsungan kafe dan teman-teman disabilitas ini.

Impian terbesar saya adalah kopi Mata Hati ini bisa dikenal banyak orang, se-Indonesia, bahkan se-dunia. Satu waktu kita pernah diliput oleh Singapura dan Amerika, masuk ke tv/media sana. Untuk teman-teman tunanetra lainnya, saya berharap mereka bisa lebih berdaya dan mandiri.

Setelah Hilmy mengungkapkan kegembiraannya karena pernah diliput media luar negeri, Ibu Hikmah menunjukkan foto dokumentasi kegiatan Hilmy saat berkeliling banyak tempat untuk memperkenalkan kopi Mata Hati. Salah satunya foto Hilmy bersama Prof. Haedar Nashir, M.Si., Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam salah satu kegiatan yang berlangsung di Yogyakarta. Selain itu, Ibu Hikmah mengungkap bahwa Mata Hati pernah memenangkan penghargaan dalam ajang Astra Nasional Difa Bisa tahun 2021.

Hilmy dan Ketum PP Muhammadiyah

Sejak kecil, Hilmy merupakan anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ketidakmampuannya melihat dengan jelas justru menjadi bahan bakar rasa penasaran yang dimiliki. Rasa penasaran itu semakin membara ketika beranjak dewasa, tak heran Hilmy berhasil mempelajari cara meracik kopi, pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh orang awas. Anak pertama dari tiga bersaudara ini bisa menjual hingga 20 botol kopi ukuran 1liter dalam sehari. Terlebih kalau ada pesanan khusus untuk acara kampus dan sejenisnya, kopi racikan Hilmy dan teman-teman disabilitas bisa diborong hingga 200 botol ukuran 500ml. Menurut Hilmy, pencapaiannya selain karena semangat dari teman-teman disabilitas, sosok ibu yang paling memberikan dorongan terbesar untuk Hilmy berkembang dan berdaya seperti sekarang.

Dukungannya yang pasti ada dorongan positif, doa dan semangat, serta masukan-masukan positif yang membangun untuk saya.

Hilmy (tengah), Hikmah (kanan) dan salah satu barista di Mata Hati Koffie.

Ibunya juga yang selalu mengingatkan dan mendorong Hilmy untuk tidak lupa berbagi ke sesama. Kalau sebuah perusahaan punya Corporate Social Responsibility, Mata Hati Kofie punya Mata Hati Peduli. Program yang digagas mandiri oleh Ibu Hikmah, Hilmy dan seluruh barista Mata Hati Kofie untuk berbagi ke penyandang disabilitas. Setiap Jumat, Hilmy dan Hikmah berkeliling sekitar kafe untuk berbagai makanan kepada tunanetra. Ibu Hikmah menjelaskan bahwa komitmen dibukanya Mata Hati Kofie adalah dari dari tunanetra, oleh tunanetra, dan untuk tunanetra. Mereka ingin manfaat Mata Hati Koffie yang digagas, dirintis dan dirawat oleh tunanetra bisa kembali lagi ke tunanetra. 

Tetap semangat, jangan berhenti untuk berkarya, jangan menyerah, jangan jadikan suatu keterbatasan untuk berjuang.

Sebelum mengakhiri obrolan, penulis tidak lupa untuk meminta Hilmy menunjukkan kebolehannya meracik kopi. Walaupun tantangan meracik kopi dengan mata tertutup masih dilayangkan Hilmy dan Bu Hikmah, penulis tetap dengan pendirian dan yakin untuk tidak menerimanya. Sambil tertawa, Hilmy bangun dari duduk dan mulai berjalan tanpa tongkat ke ruang membuat kopi yang jaraknya hanya sekitar 2 meter dari tempat duduk. Bar tempat membuat kopi yang sebenarnya terlihat dari luar, tidak menutup niat penulis untuk masuk dan melihat lebih dekat aksi Hilmy meracik kopi.

Laki-laki yang pernah sekolah di SLBA Lebak Bulus ini, menampilkan kebolehan maracik kopi dengan sangat apik. Walaupun pada saat itu kondisi glaukoma sedang kambuh, jemari Hilmy tetap on the track meracik hingga jadi segelas es kopi dambaan para penikmat kopi.

Bagi tunanetra, dunia memang terlihat gelap, tapi ada cahaya untuk tunanetra. Cahaya dalam wujud kemandirian dan keberdayaan. Hilmy mulai merasakannya, menjadi tunanetra mandiri yang dapat jadi cahaya bagi tunanetra lain. (DN/KSU)

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/