Bertani dan Bermanfaat

Wawancara

Muhammad Akmal, Mahasiswa Fakultas Pertanian UMJ

Setelah banyak berbincang dengan Pak Sularno, Dekan Fakultas Pertanian UMJ, pada beberapa waktu lalu terkait urban farming dan tekadnya untuk memajukan pertanian, kali ini penulis berkesempatan menemui dan mengorek profil salah satu mahasiswanya yang aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Muhammad Akmal, nama lengkapnya. Perkenalan penulis dengan Akmal terjadi beberapa tahun silam, dalam kegiatan pelatihan fasilitator pengembangan masyarakat (Community Development Fasilitator Training) yang diadakan oleh salah satu lembaga non-profit di Depok. Kala itu kami sama-sama belum mengetahui bahwa kami satu almamater. Sejak kenal di kalangan komunitas, identitas yang melekat dalam diri Akmal di mata penulis sebelum tahu bahwa ia adalah mahasiswa UMJ, Akmal adalah ‘anak Komunitas Ciliwung Depok’. Mungkin karena itu juga penulis hampir lupa bahwa Akmal punya identitas lain, yakni sebagai mahasiswa FTAN UMJ.

Ketika penulis unggah foto bersama Pak Sularno di sosial media, notifikasi pesan dari Akmal muncul. Saat itulah penulis kembali ingat bahwa Akmal adalah mahasiswa FTAN UMJ. Kejadian ini yang membawa penulis berangkat ke Depok untuk bertemu Akmal. Kebetulan, penulis dan teman-teman akan ikut bergabung dengan agenda buka puasa bersama anak yatim yang diadakan oleh Komunitas Ciliwung Depok (KCD), tempat Akmal berkegiatan. Momen yang pas untuk bertemu dan berbincang dengan salah satu mahasiswa yang memiliki kiprah di masyarakat ini. Beberapa hari sebelum agenda buka puasa bersama, penulis menghubungi Akmal untuk membuat janji. Kami bersepakat akan bertemu dan membuka sesi wawancara eksklusif seputar kegiatan Akmal di tengah masyarakat.

Selesai acara, penulis menghampiri Akmal. Tidak terlalu serius. Obrolan kami sangat santai, diiringi petikan gitar dari teman-teman komunitas. Ada satu topik menarik, ketika Akmal tiba-tiba menyebut buku-buku bacaan yang memantik Akmal melakukan aksi konkret terkait dengan pelestarian lingkungan dan alam. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka, deret nama penulis dan pemikir yang menjadi beberapa pilihan bacaan Akmal.

Untuk apa manusia hidup di dunia? Untuk apa saya ada di bumi? Apa yang akan ditinggalkan manusia untuk generasi selanjutnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benak Akmal. Membaca membuat Akmal merenung dan berpikir tentang arti keberadaan dirinya di dunia. Latar belakang pendidikan pertanian yang ia dapat sejak SMK, menjadi modal bagi Akmal melakukan aksi-aksi nyata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Tidak ada mimpi atau cita-cita menjadi petani dalam diri Akmal sebelumnya. Saat ditemui di base camp Komunitas Ciliwung Depok, Kamis (27/04/2022), mahasiswa asal Depok ini mengaku masuk SMK pertanian juga bukan keinginan pribadinya. “Masuk bidang pertanian karena ‘diceburin’ sama orang tua,” ungkap Akmal diikuti gelak tawa.

Seiring berjalannya waktu, pertanian dan Akmal semakin menemukan chemistry. Kini, Akmal banyak berkiprah dalam bidang lingkungan hidup. “Semester 2, selama 1 semester, sempat cuti kuliah untuk aktif di kegiatan luar kampus. Mendirikan rumah kreasi di dekat rumah, daerah Depok. Namanya Rumah Kreasi Kita. Ini wadah untuk anak-anak bermain dan belajar,” ujar Akmal. Rumah kreasi adalah ruang alternatif di bidang literasi dan kebudayaan bagi masyarakat, khususnya anak-anak. Salah satu programnya adalah rumah baca bagi anak-anak. Rumah kreasi itu berjalan hampir satu tahun, tapi terpaksa ditutup karena terjadi bentrok dengan warga setempat.

Namun, Akmal tidak berhenti sampai di situ. Sambil melanjutkan studi S1, laki-laki kelahiran 31 Maret 1999 ini kemudian bergabung dengan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) wilayah DKI Jakarta. Selama menjadi relawan WALHI, Akmal aktif dalam berbagai kegiatan seperti advokasi, kampanye lingkungan hidup dan tanggap bencana. “Nah, waktu bencana tsunami Selat Sunda, ikut sama WALHI untuk program recovery. Saya kebagian tahap assessment waktu itu. Di sana pertama kali ketemu sama teman-teman dari Depok (relawan KCD),” Akmal mulai menceritakan awal mula bergabung ke Komunitas Ciliwung Depok, komunitas yang kini menjadi rumah bagi Akmal untuk berkegiatan sosial, alam dan lingkungan. “Mereka bilang, ‘baliklah ke rumah (Depok). Jangan di Jakarta terus.’ Sekitar tahun 2018 mulai gabung dengan KCD,” lanjut Akmal.

Akmal mempelopori pendirian rumah bibit di base camp KCD yang berlokasi di kolong jembatan Jl. Grand Depok City, tepatnya di pinggir sungai Ciliwung. Selain rumah bibit, banyak kegiatan lain yang focus pada pelestarian sungai Ciliwung. Salah satunya penghijauan dengan menanam pohon di sempadan sungai Ciliwung. “Waktu itu masyarakat mau tanaman khas betawi, salak condet jadi pilihan untuk ditanam di sempadan Ciliwung. Tapi kami gak lupa sama pohon endemic Ciliwung, namanya pohon lowa. Pohon ini fungsinya untuk menahan air.  Ada juga akar wangi. Akarnya menjalar ke bawah, untuk mencegah abrasi, agar tidak terjadi longsor,” ujar Sekretaris KCD periode 2019-2021.

Selama ini KCD menjadi salah satu agen yang mengkampanyekan pelestarian lingkungan melalui edukasi penghijauan. Monitoring sungai, edukasi masyarakat mulai dari siswa TK sampai mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, penghijauan sempadan sungai Ciliwung, penanaman pohon bekerjasama dengan lembaga kehutanan, hingga advokasi adalah ikhtiar yang terus dilakukan Akmal dan teman-teman KCD untuk masyarakat sekitar sungai Ciliwung Depok. Siswa dari berbagai sekolah telah berkunjung ke base camp KCD dan belajar banyak soal kelestarian lingkungan. Kegiatan Akmal di KCD banyak bersinggungan dengan bidang studinya.

Selain kegiatan tersebut, Akmal dan teman-temannya juga bekerjasama membuat alat pirolisis, alat penghasil pupuk cair. Jika ditemukan sampah organik berupa ranting pohon dan dedaunan, sampah tersebut akan dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan alat virolisis untuk menghasilkan pupuk cair. “Sebenernya, kegiatan temen-temen KCD kan bukan fokus di bidang pertanian. Tapi karena ada singgungannya, saya jadi bisa menerapkan ilmu pertanian juga di sini,” ungkap Akmal. Secara tidak langsung, Akmal memberikan edukasi tentang pertanian juga ke teman-teman di KCD.

Selain mendirikan Rumah Kreasi Kita dan bergabung di KCD, Akmal juga mendirikan komunitas Penikmat Alam Depok atau yang biasa disebut PENA Depok pada awal 2018. “Ide mendirikan komunitas ini bermula dari saya dan kawan-kawan yang hobi mendaki gunung dan ingin mencoba berkontribusi untuk lingkungan sekitar. Berbekal pengetahuan selama melakukan pendakian dan pendekatan pada pelestarian lingkungan. Programnya bebenah alam. Sempat juga menggelar acara operasi bersih lingkungan pada hari bumi 2018 kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat,” kata Akmal.

“Apa sih yang membuat Akmal tergerak untuk bikin ini dan itu. Apa yang Akmal cari?” tanya saya penasaran. Petikan gitar masih mengiringi obrolan saya dan Akmal malam itu, ditambah hujan dan suara aliran sungai Ciliwung. Obrolan kami semakin menarik dan tetap dalam suasana santai.

“Dari buku yang saya baca, saya tuh kan menemukan banyak pertanyaan. Untuk apa manusia hidup di dunia? Apa yang bakal ditinggalkan untuk generasi selanjutnya? Saya ada di bumi untuk apa? Sesederhana itu. Nah, saya coba untuk mencari jalan tengah atas permasalahan yang ada. Buku yang saya baca kan latar belakang zamannya sangat jauh berbeda. Jadi saya membandingkan apa yang digambarkan di buku pada saat itu dengan realitas saat ini. Dari situ kita cari jalan tengahnya,” ungkap Akmal.

Selain yang bersifat aksiologi, Akmal juga mengungkapkan keresahannya lewat seni. Lewat lagu yang ia ciptakan bersama teman-teman satu bandnya, dan cerita pendek tentang tokoh bernama Tono yang dimuat di sosial media pribadinya. “Ada relevansinya. Musik dan tulisan bisa membawa isu-isu pertanian,” kata Akmal.

Laki-laki berambut gondrong ini memiliki mimpi ingin membuat permakultur di rumah masa depannya. Permakultur diserap dari Bahasa Inggris, permanent agriculture, oleh karenanya permakultur memiliki prinsip keseimbangan alam dan berkelanjutan. “Pertanian itu kan bukan cuma tentang tanaman, peternakan juga termasuk ke dalam pertanian. Nah misalnya di rumah ada sapi, nanti rumput liar bisa dijadikan pakan sapi, lalu kotoran sapi bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar untuk masak. Jadi terus berkesinambungan,” Akmal menjelaskan dengan sangat sederhana tentang mimpinya. “Saya pengen permakultur yang saya buat nanti, bisa bermanfaat untuk keluarga saya. Lebih jauh lagi bisa bermanfaat buat orang banyak,” lanjut Akmal.

“Semoga mimpi merilis buku kumpulan cerpen dan album dari band saya juga bisa direalisasikan tahun ini. Aamiin,” ungkap mahasiswa yang pernah menjabat sebagai Bendahara Dewan Pengawas Organisasi Forum Kerjasama dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Agronomi (FKK HIMAGRI) wilayah II.

Satu lagi yang menarik, ketika penulis tanya tentang cara mengedukasi ala Akmal, jawabannya membuat sedikit kaget. “Saya praktekin sendiri. Kita cohtohkan dulu. Baru bisa tuh mengedukasi orang,” jawab Akmal. Penulis sedikit kaget karena jawaban ini persis dengan jawaban Pak Sularno yang menyebut cara mendidik dengan dakwah bil hal.

Menurut Akmal, predikat sebagai mahasiswa pertanian membuat orang-orang memiliki ekspektasi lebih. “Sebagai mahasiswa pertanian, saya mau bilang. Apa yang dipelajari di dunia kuliah, di dunia kampus, atau di manapun itu, pastikan ada hal positif yang bisa ditularin ke masyarakat,” tutup Akmal dengan tegas.

Bertani dan bermanfaat. Penulis mendapatkan dua kata kunci selama berbincang dengan Akmal. Mahasiswa tidak hanya berkegiatan di dalam kampus. Dinding ruang kelas tidak boleh membatasi dan menghalangi relasi antara mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa bukan entitas terpisah melainkan bagian dari masyarakat yang memiliki peran bagi kemajuan masyarakat secara kuantitatif (peningkatan perekonomian) dan kualitatif (kemajuan berpikir). Mahasiswa adalah jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dan masyarakat.