Polarisasi Algoritmik Kohesi Urban Indonesia, Sosiological-Kultural Pengguna Media Sosial

(Ilustrasi : KSU/Fachrul)

Penetrasi pesat teknologi digital dan media sosial telah secara fundamental merestrukturisasi interaksi sosial global, dengan dampak signifikan terasa di berbagai konteks, dari lanskap Urban Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Transformasi ini, selain membuka konektivitas luas, juga memunculkan tantangan sosiologis baru. Riset bertajuk “Polarisasi Algoritmik Kohesi Urban Indonesia” secara esensial menginvestigasi mekanisme algoritma media sosial dalam setting perkotaan secara spesifik yang berpotensi memperuncing polarisasi pandangan dan menguji konsekuensi terhadap kohesi sosial. Studi ini secara sederhana berupaya memahami risiko fragmentasi sosial dan melemahnya ikatan komunal akibat dinamika digital kontemporer di tiga kota terbesar Indonesia.

Jumlah perkiraan pengguna media sosial Indonesia sekitar 139 juta tahun 2024 (dengan total jumlah penduduk 271 juta orang atau sekitar 51, 29 persen pengguna media sosial), dan tahun 2023 sekitar atau 167 juta orang pengguna media sosial (sekitar 61,62 persen). Sedangkan perkiraan persentase pengguna media sosial dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan dalam usia 18 sampai 54 tahun sekitar 79,5 persen (2023) dan 49,9 persen (2024). Secara rinci perkiraan pengguna media sosial Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang, perkiraan pengguna media sosial terbesar di Indonesia, sekitar 7,971 juta orang (79, 71 persen). Kota Surabaya jumlah penduduk 2,87 juta orang, perkiraan pengguna media sosial sekitar 2 juta orang (70 persen); Kota Medan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta orang, perkiraan pengguna media sosial sekitar 1,5 juta orang (60,4 persen). Jumlah tersebut termasuk dalam kategori yang sangat besar dalam pengunaan media dan berpengaruh besar terhadap algoritma media sosial untuk kepentingan berbagai konteks, termasuk pasar dalam semua sektor kehidupan manusia.

Implementasi penggunaan algoritma media sosial, yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan (engagement) pengguna melalui personalisasi konten, secara tidak “terduga dituding” berkontribusi pada fenomena polarisasi digital. Dengan mekanismenya melalui kurasi otomatis yang menciptakan ‘ruang gema’ (echo chambers) atau ‘gelembung filter’ (filter bubbles), mengisolasi pengguna dalam paparan informasi homogen yang mengafirmasi pandangan awal dan minim perspektif alternatif. Contohnya, dalam diskursus politik, algoritma dapat memperuncing antagonisme dengan menyajikan konten partisan yang meningkatkan keterlibatan. Namun pelaksanaanya mereduksi dialog lintas pandangan bagi pengguna media sosial. Serupa pada isu sosial kontroversial, pengguna kerap diarahkan ke konten ‘ekstrem’ yang efektif meningkatkan engagement, tetapi secara bersamaan mempersempit pemahaman atas kompleksitas isu dan toleransi, yang akhirnya mengakselerasi fragmentasi diskursif serta pengerasan posisi di masyarakat.

Polarisasi ini ditandai dengan menguatnya perbedaan pandangan antar kelompok dan menurunnya toleransi terhadap perspektif yang berbeda, yang berpotensi mengancam kohesi sosial bagi tiga kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dmana interaksi sosial bersifat kompleks dan beragam, pemahaman mengenai dampak algoritma media sosial terhadap ikatan sosial menjadi krusial. Media sosial, sebagai arena sentral pertukaran gagasan dan konstruksi identitas kolektif, secara paradoksal menawarkan konektivitas luas namun berisiko mengintensifkan polarisasi digital. Platform ini sejatinya memfasilitasi penyebaran ide dan pembentukan solidaritas, tetapi mekanisme kurasi (seringkali algoritmik) dapat menciptakan ‘ruang gema’ yang membatasi paparan perspektif beragam.

Akibatnya, diskursus publik, misalnya terkait isu kebijakan urban di Jakarta, dapat terfragmentasi. Identitas kolektif, seperti komunitas pemuda di Surabaya, bisa mengeras menjadi eksklusif dan antagonistik. Di Medan, narasi ‘kita versus mereka’ antar kelompok sosial dapat diperuncing oleh konten viral, mengancam kohesi sosial di tengah potensi konektivitas yang dijanjikan dan mengilustrasikan kerapuhan ikatan sosial urban di Indonesia.

Penelitian secara fundamental menganalisis secara empiris bagaimana paparan terhadap algoritma personalisasi di platform media sosial berkorelasi dengan eskalasi polarisasi pandangan di kalangan pengguna, serta menyelidiki dampak lanjutan fenomena terhadap kohesi sosial di lingkungan urban Indonesia.

Permasalahan utama penelitian menjawab dugaan indikasi kuat mengenai potensi erosi ikatan sosial di tiga kota besar, Jakarta, Surabaya, dan Medan, sebagai konsekuensi dari fragmentasi masyarakat yang dipicu atau diperburuk oleh cara kerja algoritma. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian krusial dalam m enjawan permasalahan adalah: “Bagaimana interaksi kompleks paparan algoritma, intensifikasi polarisasi pandangan, perubahan kohesi sosial termanifestasi secara nyata dan terukur di ketiga kota besar indonesia untuk ekosistem digital yang lebih sehat?  Penelitian diproyeksikan mengonfirmasi adanya korelasi signifikan dan positif antara tingginya tingkat paparan pengguna terhadap algoritma personalisasi dengan meningkatnya derajat polarisasi pandangan pengguna media sosial mengenai berbagai isu sosial-politik. Dan eskalasi polarisasi pandangan diperkirakan berkontribusi secara negatif terhadap tingkat kohesi sosial secara aktual Ini menunjukkan bagaimana platform digital yang dirancang dapat meningkatkan keterlibatan (engagement) justru secara “tidak sengaja merapuhkan” ikatan komunal dan solidaritas warga.

Temuan baru (novelity) penelitian menggarisbawahi sebuah paradoks sosiologis penting dalam masyarakat digital kontemporer, khususnya di lingkungan tiga perkotaan Indonesia yang dinamis, menuntut respons dan analisis kritis dari berbagai pemangku kepentingan untuk mitigasi dampak. Mitigasi dampak polarisasi algoritma sangat penting untuk mencegah perpecahan sosial lebih lanjut dan menjaga keutuhan masyarakat atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjadi ikatan kedaulatan bangsa dan negara. Upaya ini bertujuan menciptakan ruang digital yang lebih sehat, memperkuat dialog, serta memulihkan kepercayaan dan kohesi sosial antar warga di perkotaan Indonesia.

Penelitian menghasilkan idea gagasan penting, menganalisis lahirnya sebuah kebijakan bagi pemerintah Indonesia dalam mengembangkan “Kerangka Regulasi Nasional” dalam mendorong transparansi, akuntabilitas algoritma platform digital untuk penguatan program literasi digital kritis berskala nasional secara terstruktur, sistematis, berkelanjutan. Sedangkan bagi pemerintahan di tiga kota besar Jakarta, Surabaya, Medan, diharapkan mendukung kerangka regulasi nasional tersebut, sembari merancang intervensi kebijakan lokal yang lebih kontekstual dan partisipatif berupa implementasi program literasi digital. Terlabih kepada kerentanan spesifik di tiga kota besar Jakarta, Surabaya, Medan. Dalam memberikan dukungan aktif terhadap inisiatif komunitas yang memperkuat interaksi sosial luring positif, kolaborasi strategis dengan aktor-aktor lokal untuk mempromosikan narasi inklusif dan kontra-polarisasi demi menjaga keutuhan sosial.

Analisis regresi moderasi memperdalam pemahaman menunjukkan kerentanan terhadap dampak polarisasi digital dan konsekuensinya terhadap kohesi sosial tidak bersifat universal, melainkan secara signifikan diperkuat oleh intensitas penggunaan media sosial dan, yang lebih krusial, oleh rendahnya tingkat literasi digital individu. Peningkatan nilai R-squared yang substansial pada model dengan variabel moderasi mengindikasikan bahwa individu yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial, namun memiliki pemahaman terbatas mengenai cara kerja algoritma dan evaluasi kritis terhadap informasi secara tidak proporsional lebih rentan terperangkap dalam siklus polarisasi, yang pada gilirannya mengakselerasi penurunan persepsi mereka terhadap rasa kebersamaan dan kepercayaan. Temuan baru penelitian beresonansi dengan kerangka teoretis Eli Pariser mengenai “gelembung filter” dan kritik Zeynep Tufekci terhadap desain algoritma yang berorientasi pada engagement tanpa mempertimbangkan eksternalitas negatifnya. Dalam konteks pemikiran Robert D. Putnam mengenai modal sosial, erosi kohesi ini mencerminkan terkikisnya jembatan sosial (bridging social capital) yang vital bagi masyarakat heterogen, sekaligus menunjukkan bahwa dinamika digital kini menjadi dimensi baru yang harus diperhitungkan dalam analisis ketimpangan struktural dan kultural.

Rekomendasi penelitian kebijakan dan intervensi praktis diajukan: (1) Urgensi pengembangan dan implementasi program literasi digital yang komprehensif dan berkelanjutan di semua jenjang pendidikan serta bagi masyarakat luas; (2) Diperlukan advokasi kuat terhadap platform media sosial untuk meningkatkan transparansi algoritmik, memberikan pengguna kontrol yang lebih besar atas data dan personalisasi konten, serta mendesain ulang sistem mereka untuk memitigasi penyebaran disinformasi dan narasi yang mempolarisasi, sekaligus mempromosikan paparan terhadap perspektif yang beragam.

Catatan Biografi: Taufiqurokhman adalah seorang Profesor kepakaran Governansi Digital, pengamat Sosial-perkembangan sosiloogi di Indonesia. Mengepalai Diretur Penerbitan UMJPress di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia. Minatnya meliputi studi ilmu sosial, Media sosial, Teori sosial, Governansi Digital, Kebijakan Publik, Administrasi Publik, Ilmu Kesejahteraan Sosial. Penulis sudah menulis banyak 52 buku dan sekitar 288 artikel terindek di jurnal internasional bereputasi (JIB) dan Jurnal Nasional Bereputasi, mengenai penjelasan subjek-subjek penelitian ini.