Peran Orangtua pada Early Warning, Early Detection Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus

Peringatan Hari Disabilitas Internasional Desember 2022.

Beberapa hari lalu saya bertemu dengan seorang ibu yang memiliki 3 anak dengan spectrum autism. Namanya Bu Eni. Beliau ini merupakan kenalan lama saat saya menjalankan event yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus. Saya sudah cukup lama tidak mengerjakan event-event terkait ABK, terakhir di tahun 2012. Selanjutnya niat-niat melaksanakan event-event ABK terhalang oleh berbagai kesibukan saya sebagai dosen baru di UMJ. Pertemuan dengan Bu Eni kemarin itu dimaksudkan mengundang beliau dan komunitas orangtua ABK FORKESI di wilayah depok untuk mengikuti sebuah event.

Ibu Eni, yang ternyata lulusan keperawatan UMJ, pensiun dari profesinya sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Jakarta karena ingin lebih fokus pada 3 ABK nya. Dari obrolan lebih dari 2 jam di café dekat rumah, kami berdiskusi tentang permasalahan yang paling krusial dari penanganan ABK.  Kunci keberhasilan penanganannya adalah seberapa besar peran orangtua dalam pendampingan mulai dari early detection dan early warning. Banyak kasus keberhasilan ABK karena kerja keras orangtua yang berkorban  waktu, tenaga, dan materi. Seringkali kita mendapati orangtua yang menomor sekiankan kebutuhan ABK, dikalahkan dengan hal lain. Orang tua seperti itu tidak menjadikannya prioritas, tidak belajar dan berkembang bersama ABK, memahami kebutuhannya dan berjuang menembus batas potensi diri nya.

Baca juga : Muktamar Muhammadiyah ke-48 : Visi Kemodernan dan Kebangsaan

Seringkali orangtua terkecoh dalam mengenal berbagai tipikal ABK dan mengabaikan seolah itu hanya bagian dari masalah perkembangan kecil yang  kemudian akan terkoreksi sendiri sejalan dengan bertambahnya usia anak. Tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus memang hal itu bisa  saja terjadi.  Namun beberapa kasus kesalahan yang dilakukan orangtua ini akan menjadi penyesalan karena penanganan yang tidak tepat diawal bisa menyebabkan perkembangan anak tidak berkembang secara maksimal. Bahkan banyak PR perkembangan yang tidak bisa dituntaskan  hingga ia beranjak dewasa.

Dalam beberapa riset yang saya lakukan terkait dengan early detection, ditemukan terjadinya masalah dalam deteksi dini atau diagnosa perkembangan anak. Terdapat banyak kasus assesmen di Sekolah Dasar tidak dilakukan secara komprehensif sehingga kasus anak yang tergolong kategori “abu-abu” tidak dapat hanya dikonsulkan ke psikolog dengan memeriksakan score IQ.  Kategori “Abu-abu” ini adalah pada anak-anak dengan spektrum autism, ADHD, ADD dan LD, yang secara umum terlihat gejalanya sama, yaitu speech delay atau terlambat berbicara. Padahal bisa jadi anak dengan speech delay itu ternyata autism, ADHD atau anak dengan kategori bermasalah kesulitan membaca, dikarenakan IQ rendah (sementara cek IQ belum pernah). Sehingga saat  dicek secara menyeluruh ternyata si anak mengalami disleksia.

Memang tidak semua kota di Indonesia memiliki fasilitas tumbuh kembang yang lengkap. Hal ini terkadang bisa dimaklumi meski ini harusnya menjadi masalah besar yang harus dibereskan di tingkat Pemerintah Daerah atau Pusat. Namun di kota besar yang memiliki banyak fasilitas, mulai dari klinik tumbuh kembang, pusat terapi, sekolah khusus dan juga sekolah inklusif, banyak orang tua yang tidak memanfaatkannya karena alasan yang terkadang sepele. Penting bagi orangtua mengerti masalah sebenar-benarnya tentang anaknya, agar orangtua dapat dibantu dalam membuat program Pendidikan individual baik di rumah, sekolah dan pusat terapi dari ahlinya. 

Karena kondisi layanan ABK di Indonesia yang masih jauh dari harapan, maka peran orangtua atau keluarga menjadi sangat penting. Anak adalah amanah dari Allah. Mengupayakan pendidikan terbaik adalah tanggung jawab orangtua. Pengasuhan pada ABK menjadi penting karena waktu yang dihabiskan anak adalah di rumah. Beberapa contoh ABK yang dapat mengatasi masalah dalam perkembangannya dapat dilihat dari proses panjang orangtua yang mengupayakan hal tersebut, orangtua yang keras, berjuang dan “ngotot” untuk mengembangkan buah hatinya. Keyakinan pada potensi anak yang bisa dikembangkan seringkali menjadi motivasi kuat bagi orangtua untuk tetap terus berusaha. Sementara bagi orangtua yang tidak memiliki keyakinan dan berpikir untuk menyerah tentu saja membuat anaknya tidak mendapat pendidikan terbaik.

Kita harus memahami bahwa perkembangan pada setiap ABK itu berbeda. Contohnya tiga anak ibu Eni ini. Ketiganya berbeda. Meski masing-masing ditangani dengan cara yang sama, namun dua anaknya berkembang lebih baik daripada satu anak lainnya yang memiliki kriteria autis berat. Meski demikian berkat kerja keras Bu Eni yang penuh dengan darah dan air mata, meski dengan keterbatasan dan kemandiriannya anak yang satu itu memiliki kemampuan membuat cheese cake yang sangat lezat.

Satu hal yang perlu di catat oleh orangtua adalah untuk lebih peduli pada perkembangan anak-anaknya, amati dan konsultasikan segera jika orangtua membutuhkan bantuan ke ahli sesegera mungkin. Orangtua berkejaran dengan waktu, makin lebih tua usia anak, masa “golden age” anak akan lewat, otak anak sudah tidak lentur demikian juga perilaku yang akan diubah. Jadi namanya adalah kini, bukan besok, orangtua boleh tunda kebutuhan apapun tapi jangan tunda kebutuhan anak.  Salam peduli pada disablitas/special need.