MUHAMMADIYAH DAN SELAWAT(AN)

Ada nuansa yang sedikit berbeda dalam pelaksanaan Wisuda dan Milad ke-67 Universitas Muhammadiyah Jakarta, tanggal 29 November 2022 lalu. Berbeda dengan penyelenggaraan sebelumnya, kali ini saya dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy –yang hadir untuk memberikan Orasi Ilmiah– didaulat menyanyikan lagu berjudul “Assalamu’alaika” (Raqqat Aina) karya Maher Zain. Lagu yang berisikan puji-pujian (selawat) kepada Nabi Muhammad ini dirilis tanggal 2 April 2012, sehingga wajar bila cukup familiar di telinga umat Islam.

Seolah menjadi hal yang aneh menyenandungkan selawat di acaranya Muhammadiyah, video selawat(an) saya dan Pak Hajir (biasa saya memanggilnya) menjadi viral di youtube, grup-grup whatsapp, facebook, dan media sosial lainnya. Bukan hanya soal viralnya video tersebut, tapi membaca komentar-komentarnya juga terasa aneh (gharib). Sebagian besar mengapresiasi secara positif. Namun ada juga sedikit (non-mainstream) yang komentar negatif. Dipastikan, komentar negatif ini datang dari mereka yang masuk katagori rabun literasi. Ada juga yang mengapresiasi tapi dengan bahasa yang sinis, seolah ingin mengatakan bahwa Muhammadiyah yang selama ini anti-selawat sekarang sudah mau atau mulai berselawat. Menyebut bahwa Muhammadiyah tidak mau atau anti-selawat tentu pandangan yang keliru.

Baca Juga: Senandung Selawat Menko PMK di Wisuda UMJ

 

Tradisi Berselawat

Selawat (sholawat) merupakan jamak dari salat (sholat) yang berarti berdoa kepada Allah untuk Nabi Muhammad beserta para keluarga dan para sahabatnya. Selawat juga bisa diartikan sebagai ekspresi dari rasa cinta kepada Nabi Muhammad. Secara naqliyah, anjuran berselawat merujuk pada QS. At-taubah: 103 dan Al-ahzab: 56 serta sederet Hadis sahih.

Sebagai bentuk ungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad, berselawat dalam tradisi umat Islam dilakukan secara beragam.

Pertama, ada yang melakukannya secara maksimalis, dengan puji-pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Muhammad. Mereka berargumen bahwa berselawat adalah menumpahkan rasa cintanya kepada Nabi Muhammad. Layaknya orang bercinta, maka tak salah jika mengungkapkan rasa cinta melalui ungkapan kata-kata yang sangat berlebihan. Mereka yang masuk dalam kategori ini biasanya mewujudkan rasa cintanya dengan menggelar tradisi selawat(an) secara rutin melalui majelis-majelis selawat(an) dan mengadakan peringatan Maulid Nabi secara berlebihan dengan mendatangkan ribuan atau bahkan puluhan ribu jamaah, yang dalam pelaksanaanya terkadang sampai memacetkan jalan umum.

Kitab seperti Ratibul Hadad karya Habib Abdullah Al-Hadad, Barzanji karya Sayyid Ja’far al-Barzanji atau Diba’ karangan Imam Abdurrahman Ad-diba’i –yang di antaranya berisikan bait-bait puisi (nadham) sanjungan kepada Nabi Muhammad– sering dibaca dalam berbagai majelis selawat(an) atau peringatan-peringatan Maulid Nabi. Dalam hal-hal yang bersifat ritual keagamaan lainnya, seperti ziarah kubur misalnya, kelompok ini juga sangat berlebihan. Bukan hanya menziarahi makam kerabat terdekat, mereka juga biasanya menggelar apa yang disebut dengan “ziarah jama’i”.
Bersama ratusan bahkan ribuan jamaah, mereka berziarah ke makam-makam yang dinilai keramat (karamah), seperti makam Walisongo, tentu dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Terkait dengan selawatan dan “ziarah jama’i”, saya jadi teringat pernyataan Prof. Ali Mustofa Yakub yang menyindir mereka yang gemar haji berkali-kali sebagai “pengabdi setan”. Argumentasi Kiai Ali, bahwa tak ada satu pun ayat yang menyuruh umat Islam melaksanakan haji berkali-kali, sementara masih banyak kewajiban agama yang harus dilakukan, seperti menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin. “Apakah haji kita itu mengikuti Nabi Muhammad? Kapan Nabi Muhammad memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan karena setan.” Dengan argumen Kiai Ali, rasanya bukan hanya haji, tapi “ziarah jama’i” dan selawat(an) yang berlebihan dan dengan anggaran yang besar, juga tak ubahnya seperti pengabdi setan. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan secara akumulatif untuk melaksanakan “ziarah jama’i” dan “selawat(an) massal” dengan mendatangkan ribuan atau bahkan puluhan ribu jamaah? Apakah tidak terbesit pikiran bahwa biaya untuk melaksanakan “ziarah jama’i” dan “selawat(an) massal” dapat digunakan untuk membiayai santri, siswa atau mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi? Secara fikih, lebih prioritas mana melakukan “ziarah jama’i” dan “selawat(an) massal” yang terlalu sering dan berlebihan dengan membiayai santri, siswa atau mahasiswa yang tengah menuntut ilmu, sesuatu yang diwajibakan dalam Islam?

Kedua, bertolak belakang dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini dalam berselawat melakukannya sangat minimalis, sebatas apa yang diperintahkan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad. Mereka berselawat hanya seperlunya saja, seperti berselawat di saat salat, khutbah, atau berdoa. Tidak lebih dari itu. Bagi mereka berselawat di luar ketentuan yang diajarkan Nabi Muhammad, seperti membaca Barzanji atau Diba’, termasuk bernyanyi yang berisikan bait-bait selawat adalah perbuatan bid’ah yang sesat dan terlarang. Mereka yang masuk kelompok ini biasanya dalam beragama cenderung tekstual (bayani), yang menjadikannya sangat kaku (rigid) dalam beragama. Apa yang tidak terdapat dalam teks (dalil naqli) mereka tak akan melakukannya.

Ketiga, mereka yang berselawat secara proporsional (muqtashid). Kelompok ini merupakan “kelompok tengahan”, yang dalam berselawat tidak seperti yang dilakukan kelompok pertama, yang sangat berlebihan, tapi juga bukan seperti yang dilakukan oleh kelompok kedua, yang terlalu pelit berselawat. Kelompok ini melakukannya secara proporsional, yaitu dengan mengedepankan sisi tindakan, namun tidak melupakan ucapan.

 

Tak Ada Bid’ah Berselawat

Posisi Muhammadiyah dalam berselawat masuk kategori yang ketiga. Merujuk pada putusan-putusan Tarjih, tak ada satu pun putusan yang menyebut berselawat sebagai perbuatan bid’ah. Sebagai organisasi Islam yang menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman utama, tentu tak mungkin Muhammadiyah membid’ahkan atau anti-selawat. Terdapat ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis yang secara kualitas masuk kategori sahih, yang memerintahkan untuk berselawat.

Hanya saja Muhammadiyah cenderung mendorong berselawat sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad dan tidak melakukannya secara berlebihan, namun tidak sampai membid’ahkan kelompok yang suka berlebihan dalam berselawat. Ibarat orang yang tengah bercinta, Muhammadiyah bukan tipe orang yang suka menyampaikan perasaan cintanya dengan bait-bait kata yang sangat berlebihan. Seperlunya saja dan tidak berlebihan.

Muhammadiyah lebih suka menyatakan cintanya dengan tindakan (action). Bait-bait kata bisa berpotensi mengandung kebohongan dan ambigu. Mulutnya menyatakan cinta (dengan berselawat), namun belum tentu tindakan kesehariannya menggambarkan ucapan cintanya. Karenanya, Muhammadiyah lebih memilih menyatakan cinta dengan tindakan, yang parameter dinilai dari seberapa besar ghirah Muhammadiyah dalam membangun sekolah, perguruan tinggi, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan. Juga seberapa banyak masyarakat miskin (dhuafa maupun mustadh’afin) yang telah mendapat santunan.

Muhammadiyah lebih memilih berselawat dengan mengedepankan sisi kepedulian sosial yang tinggi. Dan semua yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini, merupakan tindakan nyata dari cintanya kepada Nabi Muhammad.

Kalaulah selawat bisa dibedakan menjadi “selawat bil lisan” dan “selawat bil hal”, Muhammadiyah tegas lebih memilih dan mengedepankan sisi “selawat bil hal”, tanpa harus menegasikan “selawat bil lisan”. Cintanya kepada Nabi Muhammad bukan diukur dari seberapa banyak membaca (bait-bait) selawat dalam setiap harinya atau seberapa banyak dalam setahun menggelar peringatan Maulid Nabi atau melalui Majelis Selawatan dengan membaca selawat yang sangat berlebihan dan dengan biaya yang mahal. Sama sekali bukan berselawat model ini yang menjadi pilihan Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya meninggalkan dan apalagi anti pada selawat.

Sebagaimana keputusan Tanwir Muhammadiyah tahun 2002, bersenandung selawat dalam berbagai bentuknya yang familiar di kalangan umat Islam misalnya, merupakan bagian dari dakwah, tepatnya Dakwah Kultural. Pesan penting dari Dakwah Kultural adalah agar dalam merespon kemajemukan masyarakat dan situasi yang semakin kompleks, cara dakwah Muhammadiyah bisa semakin arif, bijak, cerdas, dinamis, dan kreatif.

Dengan pendekatan dakwah yang baru, tak heran kalau di lingkup amal-amal usaha milik Muhammadiyah, seperti sekolah dan perguruan tinggi, terdapat misalnya media-media dakwah kesenian, seperti rebana, hadrah, marawis, gambus, dan rampak bedug, yang kesemuanya merupakan ekspresi dari Dakwah Kultural. Meskipun sebenarnya, kalau menengok ke belakang, muatan Dakwah Kultural sejatinya bukan sesuatu yang baru di Muhammadiyah. Sejak era Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah telah mengedepankan prinsip-prinsip Dakwah Kultural.

Dengan Dakwah Kultural, maka terhadap mereka yang sering mencibir dan menyebut Muhammadiyah sebagai anti-selawat, merupakan gambaran dari ketakpahaman terhadap Muhammadiyah. Begitupun orang Muhammadiyah yang menuduhnya sebagai bid’ah terhadap mereka yang sekadar bersenandung selawat, juga pertanda ketakpahaman terhadap Muhammadiyah. Orang-orang Muhammadiyah model ini oleh Amin Abdullah disebutnya sebagai varian Mursal (Muhammadiyah rasa Salafi), yang pola pikirnya kaku dan cenderung anti-budaya. Sekian.

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/