Hari ini, di Auditorium Dr. Syafri Guricci FKK UMJ, suasana haru merayap perlahan menyentuh setiap sudut hati yang hadir. Tiga srikandi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta resmi menyandang gelar tertinggi dalam dunia akademik, Guru Besar. Prof. Ari Widyati P. dari Prodi Teknik Arsitektur, Prof. Liza Nora dari Prodi Manajemen, dan Prof. Mutmainah dari Prodi Teknik Industri kini berdiri sebagai simbol kemuliaan ilmu pengetahuan, menambah deretan para penjaga cahaya peradaban di kampus ini.
Namun, siapa yang tahu bahwa di balik sorak-sorai penghormatan ini, tersimpan kisah panjang penuh pengorbanan, air mata, dan luka tak terlihat? Perjalanan menuju gelar ini bukan sekadar langkah akademis, melainkan pengabdian seumur hidup, pergulatan antara tanggung jawab, pengorbanan keluarga, dan keikhlasan jiwa.
Saat biodata mereka dibacakan, video profil ditayangkan, dan ucapan terima kasih diperdengarkan, tak sedikit yang menyeka air mata. Ada yang tersentuh oleh ketulusan perjuangan, ada pula yang terpaku menyadari betapa besar harga yang harus dibayar untuk sampai ke puncak ini. Seperti kata Prof. Mutmainah, dengan mata berkaca-kaca ia meminta maaf kepada anak-anaknya:
“Mohon maaf, nak, ibu kerja terus.”
Dalam kesan sederhana itu, tergambar beban rindu yang tertahan, malam-malam yang sunyi, dan cinta yang tak sempat dieja.
Gelar Guru Besar adalah tonggak tertinggi, bukan untuk sekadar kebanggaan pribadi, melainkan sebagai tanggung jawab moral yang begitu besar. Ia bukan sekadar simbol pengakuan, melainkan deklarasi bahwa ilmu harus mengabdi pada peradaban, menginspirasi, dan menjadi lentera bagi masa depan. Seperti yang dikatakan Prof. Liza Nora, teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan hati manusia untuk menjaga empati, kepercayaan, dan keaslian. Ilmu harus selalu menyentuh manusia, tidak sekadar mencipta inovasi, tetapi membangun koneksi emosional yang lebih dalam.
Apa yang terlihat hari ini, ucapan selamat, senyum yang terpancar, dan penghormatan yang diberikan hanyalah puncak gunung es dari kisah panjang yang penuh perjuangan. Sebagian dari mereka harus menanti puluhan tahun, 24 hingga 28 tahun untuk mendapatkan pengakuan ini. Ada yang terpaksa mengorbankan kesehatan, meninggalkan waktu untuk keluarga, dan berdamai dengan kesendirian. Bahkan, banyak dosen yang tak pernah sampai pada titik ini, karena setiap langkah di jalur ini ibarat menyeberangi samudra penuh badai.
Perjuangan hari ini juga tak terlepas dari jejak yang telah ditapaki oleh para Guru Besar sebelumnya, khususnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMJ. Mereka yang telah lebih dahulu mencapai puncak keilmuan terus menjadi panutan serta inspirasi bagi generasi berikutnya. Dalam rasa hormat yang mendalam, kita memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para Guru Besar FEB UMJ yang telah dikukuhkan sebelumnya: Prof. Nazifah, Prof. Andry Priharta, Prof. Gofur, Prof. Suhendar, dan Prof. Irwan Prayitno. Bersama-sama mereka telah menjadi cahaya yang menerangi perjalanan panjang ini, dan mereka yang menyusul nantinya akan melanjutkan warisan pengabdian ini dengan semangat yang sama.
Setiap pengorbanan itu menghadirkan pertanyaan: Apa makna di balik semua ini? Jawabannya ada pada kebermanfaatan ilmu, pada cahaya yang terus mereka jaga untuk generasi selanjutnya. Maka, mereka yang menyandang gelar Guru Besar bukan sekadar ilmuwan, tetapi penjaga peradaban mereka yang rela memikul tanggung jawab besar, menanamkan inspirasi, dan memberikan arah bagi kemajuan dunia.
Rektor UMJ dengan bijak mengingatkan bahwa gelar Guru Besar bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru pengabdian. Kini, mereka diharapkan dapat memperluas kontribusi, bukan hanya untuk ilmu, tetapi juga untuk umat dan kemanusiaan. Dalam pesan Prof. Liza Nora tentang Marketing 5.0, terbersit optimisme bahwa teknologi yang terus berkembang dengan AI, big data, dan otomatisasi akan selalu relevan jika disertai dengan sentuhan manusiawi, kreativitas, dan empati. Namun, pesan ini juga lebih dari sekadar teori manajemen. Ia adalah refleksi bahwa manusia tidak bisa digantikan oleh mesin. Jiwa tetap menjadi ruh dari setiap kemajuan teknologi, seperti perjuangan dan doa yang selalu menjadi ruh dari setiap pencapaian besar.
Hari ini, kita tidak hanya merayakan pencapaian, tetapi juga mengapresiasi jejak panjang yang telah mereka lalui. Mereka adalah para pejuang, mereka yang dipilih untuk berdiri di titik tertinggi tangga akademik. Namun, mereka juga adalah manusia yang pernah jatuh, menangis, dan bertanya-tanya apakah perjuangan ini layak untuk diteruskan. Dan kini, dengan penuh rasa syukur, kita melihat bahwa setiap tetes air mata mereka tidak pernah sia-sia.
Bagi generasi yang akan datang, cerita mereka adalah lentera. Bahwa hidup adalah perjalanan sebab-akibat, penuh qada dan qadar, yang membutuhkan perjuangan tanpa henti. Tidak ada keberhasilan yang datang tanpa pengorbanan. Tidak ada puncak yang dicapai tanpa peluh dan air mata. Karena itu, jangan pernah menyerah sebab di setiap langkah, ada takdir yang menunggu untuk diraih.
Selamat kepada para Guru Besar UMJ, khususnya kepada tiga srikandi yang dikukuhkan hari ini: Prof. Ari Widyati P., Prof. Liza Nora, dan Prof. Mutmainah. Terima kasih atas perjuangan yang telah kalian tapaki, menjadikan jalan ini lebih terang bagi mereka yang mengikuti. Semoga cahaya ilmu yang kalian nyalakan terus menerangi jalan peradaban. Dan bagi kita yang masih berjuang di jalur ini, semoga cerita mereka menjadi pengingat bahwa setiap perjuangan, sekecil apa pun, selalu memiliki makna yang besar. Teruslah berjuang untuk dunia yang lebih baik.