Guru Besar di PTMA Harus Jadi Uswatun Hasanah

Guru Besar di PTMA Harus Jadi Uswatun Hasanah
(Ilustrasi: KSU/Fachrul Rozi)

Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) harus menjadi garda terdepan dalam memberikan uswatun hasanah (suri tauladan) kepada masyarakat akademik di Indonesia—baik dalam proses pengajuan Guru Besar ataupun pasca mendapatkan SK Guru Besar. Hal tersebut akan menjadi ikhtiar untuk menjaga marwah Guru Besar di Perguruan Tinggi sebagai sumber inspirasi penegakan moril Bangsa Indonesia. Sehingga semakin bertambah Guru Besar akan semakin banyak memberikan sumbangsih signfikan untuk peningkatan moralitas Bangsa Indonesia.

Bukan sebaliknya, bertambahnya jumlah Guru Besar malah semakin menambah benalu yang memporak-porandakan moralitas Perguruan Tinggi, disebabkan ulah dari sebagian “Oknum Guru Besar”—mulai dari rekayasa pengajuan syarat untuk Guru Besar hingga kong-kalikong main mata dengan oknum di Kemendikbud Ristek. Maka dari itu, keberadaan Guru Besar di PTMA harus benar-benar menjadi suri tauladan untuk yang lainnya. Sehingga PTMA sebagai kepanjangan tangan dakwah Muhammadiyah di bidang pendidikan tinggi, akan ikut memperbaiki carut-marutnya pendidikan Indonesia.  

Pengetatan Persyaratan Pengajuan

PTMA harus membuat pengetatan persyaratan bagi para dosen yang akan mengajukan Jabatan Fungsional ke Guru Besar. Tentu, pengetatan persyaratan bukan hendak menyulitkan para dosen, akan tetapi lebih untuk melakukan penyaringan dosen yang memang layak mengajukan ke jenjang Guru Besar. Sehingga Calon Guru Besar yang diajukan memang bukan kualitas kaleng-kaleng, akan tetapi seorang dosen yang memang merepresentasikan kualitas dan kapabelitas keilmuan, akhlak, dan rasa memiliki terhadap Persyarikatan Muhammadiyah di atas rata-rata dosen lainnya.

Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh PTMA terhadap Calon Guru Besar yang akan diajukan.

Pertama, menjaga kualitas syarat utama pengajuan Guru Besar. Salah satu syarat utama pengajuan Guru Besar yang banyak mendapatkan sorotan publik ialah terkait kualitas artikel jurnal yang diajukan. Maka, PTMA harus bisa memberikan garansi bahwa artikel jurnal yang diajukan selain dari sisi kuantitas memenuhi syarat, juga kualitas keilmuan merepresentasikan keilmuan yang sedang ditekuni dosen bersangkutan.

Makna dari menjaga kualitas ialah artikel yang dihasilkan dan akan diajukan terbebas dari plagiasi, tidak menggunakan joki penulisan artikel jurnal, tidak merekayasa hasil riset, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, PTMA harus benar-benar mampu memastikan bahwa artikel jurnal yang akan dijadikan sebagai syarat utama ataupun syarat pelengkap memang memiliki kualitas di atas rata-rata.

Kedua, otoritas keilmuan yang dimiliki. Keberadaan otoritas keilmuan menjadi penting bagi Calon Guru Besar yang akan diajukan oleh PTMA. Sehingga Calon Guru Besar yang akan diajukan, tidak hanya memenuhi batas minimal persyaratan oleh Kemendikbud Ristek. Akan tetapi, bisa melampaui dari hal tersebut. Dengan adanya otoritas keilmuan yang dibuktikan melalui karya, baik dalam bentuk buku refrensi, buku ajar, buku diktat, tulisan di media massa, dan lain sebagainya, akan merepresentasikan otoritas keilmuan yang ditekuninya. 

Misalnya, setiap Calon Guru Besar harus sudah menghasilkan minimal 10 buku refrensi, 10 buku ajar, 10 buku diktat, dan lain sebagainya. Kemudian juga harus mampu menghasilkan karya ilmiah populer yang dimuat di media massa—baik media cetak ataupun online. Hal tersebut sebagai upaya karya ilmiah akademik yang dihasilkan dalam bentuk artikel jurnal ilmiah juga bisa dinikmati oleh masyarakat luas di Indonesia. Sehingga masyarakat luas bisa merasakan kebermanfaatan riset akademik yang dihasilkan oleh Calon Guru Besar bersangkutan. Dengan kata lain, PTMA harus mampu memberikan garansi terkait otoritas keilmuan kepada Calon Guru Besar yang akan diajukan.

Ketiga, keaktifan di Persyarikatan Muhammadiyah. Calon Guru Besar yang akan diajukan oleh PTMA, harus bisa membuktikan dirinya aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, baik di tingkat Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang, ataupun Ranting—baik sebagai Pimpinan, Ketua (Ketua Majelis, Lembaga, atau Biro), ataupun hanya sebagai anggota di dalamnya. Keaktifan, bukan hanya sekadar ada nama di dalam SK, akan tetapi ikut berjibaku memberikan sumbangsih nyata untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Hal tersebut sebagai upaya bahwa dirinya juga merasa memiliki terhadap Persyarikatan Muhammadiyah.

Jangan sampai, Calon Guru Besar yang akan diajukan oleh PTMA tidak pernah aktif di Persyarikatan Muhammadiyah. Karena, mereka yang tak aktif di Persyarikatan Muhammadiyah pada esensinya hanya numpang untuk mengurus Guru Besar. Padahal, keberadaan Guru Besar di PTMA ialah kepanjangan tangan dari dakwah Persyarikatan Muhammadiyah di bidang pendidikan. Jadi, bagi yang tak aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bisa dipastikan mereka tidak akan merasa memiliki terhadap Persyarikatan Muhammadiyah. Maka, siapun dosen yang akan diajukan ke jenjang Guru Besar, harus terlibat aktif di Persyarikatan Muhammadiyah.

Pasca Mendapatkan SK Guru Besar

Selain pengetatan persyaratan pengajuan Calon Guru Besar, PTMA juga perlu membuat aturan pasca mendapatkan SK Guru Besar. Hal tersebut demi menjaga tingkat produktivitas Guru Besar di PTMA, agar keberadaan mereka tidak menjadi GBHN (Guru Besar Hanya Nama). Sehingga SK Guru Besar yang diterima benar-benar merepresentasikan dirinya sebagai seorang Pendidik dan Ilmuwan, baik secara intelektualitas, karya akademik, sumbangsih pemikiran, hingga tingkat produktivitas untuk menghasilkan kebaruan ilmu pengetahuan dari rumpun ilmu yang ditekuninya.

Pertama, penggerak riset di Perguruan Tinggi. Bagi dosen yang direkomendasikan menjadi Guru Besar dan telah menerima SK Guru Besar, maka Perguruan Tinggi harus memberikan tugas untuk menjadi penggerak riset di Perguruan Tinggi. Secara implementasi, tugas menggerakkan riset bisa melalui pembentukan tim riset Perguruan Tinggi, menggerakkan riset melalui pusat studi, dan lain sebagainya.

Setelah itu, hasil riset yang dimotori oleh masing-masing Guru Besar, kemudian dipublikasikan dalam bentuk publikasi ilmiah akademik seperti artikel siap submit di jurnal bereputasi, buku refrensi, buku ajar, buku diktat, dan jenis karya ilmiah lainnya. Kemudian, juga dituliskan dalam bentuk karya ilmiah populer seperti artikel ilmiah populer di media massa—baik cetak ataupun online, buku populer, dan lain sebagainya.   

Kedua, pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi. Selanjutnya, Perguruan Tinggi menugaskan Guru Besar untuk ikut andil dalam rangka memberikan masukan terhadap kurikulum di Perguruan Tinggi—terkhusus kurikulum di Program Studi tempat dirinya mengajar. Jangan sampai, Guru Besar yang dimiliki suatu Program Studi jumlahnya banyak, tetapi kurikulum yang digunakan tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Tentu, anomali seperti itu harus dihindari.

Dalam rangka pengembangan kurikulum, Perguruan Tinggi harus benar-benar memberikan tugas kepada Guru Besar bersangkutan untuk melakukan kajian mendalam. Sehingga kehadiran Guru Besar dari suatu Program Studi, memberikan sumbangsih signifikan terhadap pengembangan dan kemajuan kurikulum suatu Program Studi. Karena, keberadaan kurikulum menjadi jantung dari setiap Program Studi yang ada di Perguruan Tinggi.     

Ketiga, menggerakkan Cabang dan Ranting Muhammadiyah di akar rumput. Hal yang tak kalah penting bagi Guru Besar yang telah menerima SK ialah mau ikut menggerakkan Cabang dan Ranting Muhammadiyah di akar rumput masyarakat. Sehingga pengetahuan yang diperoleh di Perguruan Tinggi dapat ditransformasikan di Cabang dan Ranting Muhammadiyah tempat Guru Besar bersangkutan tinggal. Melalui hal tersebut, setidaknya akan memberikan sumbangsih nyata terhadap kemajuan Cabang dan Ranting Muhammadiyah.

Jangan sampai, Guru Besar di PTMA hanya asyik dengan riset dan kerja di Perguruan Tinggi. Tentu, hal tersebut benar dan tak menjadi masalah. Akan tetapi, hal yang membedakan antara Guru Besar di PTMA dan di luar PTMA ialah adanya tugas Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Tugas Al Islam dan Kemuhammadiyahan salah satunya harus diimplementasikan melalui keikutsertaan dalam menggerakkan Cabang dan Ranting Muhammadiyah.

Menghasilkan Karya Nyata

Dengan adanya pengetatan persyaratan pengajuan dan pemantauan pasca mendapatkan SK Guru Besar, semoga akan menjadi ikhtiar bersama bahwa Guru Besar di PTMA mampu menghasilkan karya nyata, baik saat ada di Perguruan Tinggi ataupun saat mengaktifkan Persyarikatan Muhammadiyah di akar rumput. Sehingga Guru Besar yang dihasilkan oleh PTMA tidak hanya menjadi ilmuwan yang duduk asyik di menara gading Perguruan Tinggi, akan tetapi juga ikut terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat melalui Cabang dan Ranting Muhammadiyah di akar rumput masyarakat.

Kemudian, hal yang tak kalah penting ialah setiap Guru Besar yang ada di PTMA haruslah memahami bahwa dirinya ialah representasi seorang da’i di Muhammadiyah—apapun rumpun keilmuan yang ditekuninya. Maka, sebagai seorang da’i, laku-lampah kesehariannya harus mampu merepresentasikan akhlak seorang Warga Persyarikatan Muhammadiyah. Dengan demikian, uswatun hasanah harus benar-benar melekat dalam kesehariannya, baik kala ada di Perguruan Tinggi ataupun kala berada di tengah-tengah masyarakat.