Gerakan Green Politics Muhammadiyah

Ilustrasi oleh Fildzah KSU

الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

(QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)

Bumi saat ini dihadapkan pada suatu krisis global karena menyangkut hidup seluruh penghuni bumi tanpa kecuali, melewati batas gender, ras, negara, etnis, ideologi, budaya dan agama. Krisis itu adalah krisis lingkungan (environmental crisis) atau krisis ekologi (ecological crisis). Isu lingkungan hidup menjadi topik perbincangan yang mendapat perhatian khusus beberapa dekade ke belakang, terkait dengan permasalahan pemanasan global (global warming) yang disebabkan oleh emisi gas karbon dari industri maupun kendaraan bermotor dan kerusakan serta pembakaran lahan atau hutan, persoalan pencemaran sungai dan laut, kerusakan pantai serta pembuangan limbah-limbah berbahaya telah mempengaruhi kelangsungan hidup manusia baik secara individu maupun secara keseluruhan sebagai suatu spesies (Rani,2013). Menanggapi hal tersebut, membawa manusia untuk berpikir tentang bagaimana dampak tindakan dan perilaku hidup manusia terhadap lingkungan sekitarnya perlu dilakukan penataan ulang.

Seiring dengan meningkatnya krisis lingkungan di tingkat global, pengkaji studi Hubungan International (HI) mengembangkan teori-teori yang dapat digunakan negara-negara di dunia untuk keluar dari krisis lingkungan, dan menjaga agar krisis tidak terulang kembali. Di antara sederet teori tentang lingkungan hidup, salah satunya yaitu green politics theory. Tujuan kehadiran teori politik hijau dalam HI adalah untuk memberikan penjelasan tentang krisis ekologi yang dihadapi umat manusia saat ini. Politik hijau atau gerakan ekologi dalam green politics theory memiliki sepuluh nilai yang menjadi dasar dan tujuan gerakan serta sekaligus sebagai acuan bagi pengejawantahan kebijakan politik: (a) Kesadaran dan keberlansungan ekologi; (b) Demokrasi akar rumput; (c) Keadilan sosial dan persamaan kesempatan; (d) Anti kekerasan; (e) Desentralisasi kekuasaan; (f) Ekonomi berbasis komunikasi dan berkeadilan; (g) Feminisme dan kesetaraan gender; (h) Penghormatan terhadap keberagaman; (i) Tanggung jawab personal dan global; (j) Fokus pada masa depan dan keberlanjutan (Yusran&Asnelly, 2017).

Baca juga : LGBT dan Dakwah Khusus Di Lorong Gelap: Tantangan Kiprah Perjuangan Muhammadiyah Masa Kini

Keterlibatan gerakan lingkungan dalam politik diimplementasikan dalam berbagai bentuk, seperti partai politik, lembaga masyarakat atau gerakan masyarakat (volunteer). Bentuk gerakan politik lingkungan atau yang kemudian disebut sebagai politik hijau di Indonesia sampai saat ini baru diterapkan dengan pengajuan petisi, gugatan atas kebijakan dan aksi mobilisasi massa. Di Indonesia isu lingkungan sering kali dijadikan komoditas politik menjelang kontestasi pemilu, sejumlah literatur menunjukkan isu lingkungan tersebar di berbagai partai politik ketika menjelang pemilihan umum atau sebagai janji kampanye kandidat tertentu. Hal ini tidak lepas dari kausalitas dominasi oligarki yang masih kuat di Indonesia menyebabkan ketingpangan pengelolaan sumber daya alam. Ditambah ketidakefektifan pemerintah dalam menyusun hukum yang berhaluan lingkungan, serta kesadaran kolektif setiap pihak yang belum terbentuk juga menjadi persoalan pelik di negara ini (Bolqiah&Raffiudin, 2020). Oleh karena itu, gerakan politik hijau di Indonesia masih memerlukan saluran besar yang mampu merekonstruksi pemahaman dan narasi lingkungan yang lebih masif dan sistemik dari seluruh elemen, baik perorangan maupun kelompok, pemerintah maupun organisasi masyarakat.

Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan dinamika perkembangan negara ini. Gerakan masyarakat berbasis Islam yang dipelopori oleh K. H. Ahmad Dahlan ini sudah ada sejak tahun 1912. Dengan usia yang memasuki abad ke-2 ini, tidak diragukan lagi kiprah Muhammadiyah dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang bertransformasi begitu cepat. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian Muhammadiyah dari awal hingga sekarang adalah persoalan poltik. Namun, berbeda dengan partai politik atau organisasi sejenis yang melakukan politik praktis. Muhammadiyah memilih jalur lain yaitu dengan politik nilai atau disebut juga politik adilihung (high politics). Sejak fase pertama berdiri, Muhammadiyah memandang kehidupan politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Oleh karena itu, walaupun Muhammadiyah tidak melibatkan diri dalam politik praktis secara langsung, kiprah politik tetap dilakukan Muhammadiyah dalam bentuk yang lain, yakni berupa pemikiran yang dibutuhkan bangsa dan negara tanpa mengabaikan aksi gerakannya yang bersifat konkret (Effendy dkk, 2015).

Adapun kaitannya terhadap isu lingkungan, Muhammadiyah memiliki potensi besar untuk mengubah paradigma masyarakat Indonesia dalam memandang lingkungan melalui ideologi Islam, yaitu amar ma’ruf nahii munkar (melakukan kebaikan dan melawan keburukan). Dari pandangan teologis Muhammadiyah, manusia merupakan bagian dari alam semesta ini dan menjadi al-khalifah (perwakilan) Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia harus memperlakukan alam dengan baik dan penuh kasih sayang serta melawan segala macam bentuk eksploitasi yang merusak lingkungan. Selain itu, lingkungan juga merupakan tempat hidup dan berkembangnya manusia di muka bumi. Sehingga ketika lingkunganya rusak, maka terancam pulalah keberlangsungan kehidupan manusia di dalamnya. Melalui muktamar ke-45 di Malang, Muhammadiyah berkomitmen  untuk berperan aktif dalam melindungi serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sebagai bentuk konkret dari komitmen ini, Muhammadiyah telah membentuk lembaga yang berfokus pada lingkungan, serta menerbitkan buku yang membahas isu lingkungan seperti, fiqih kebencanaan, fiqih air, dan teologi lingkungan dalam Islam (Efendi dkk, 2021).

Dari segi gerakan lingkungan, Muhammadiyah meneguhkan trisula baru abad kedua pada muktamar ke-47 di Makasar. Trisula ini adalah Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) yang bergerak melalui pendekatan ekologis kepada masyarakat kecil seperti buruh, petani, dan nelayan yang sebelumnya masih diluar jangkauan Muhammadiyah. Didirikan pula Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang berfokus pada penanganan kebencanaan baik pada kegiatan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, maupun rehabilitasi. Terakhir, Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) yang menjadi penopang kedua mata tombak sebelumnya sebagai lembaga yang memobilisasi dan  menghimpun dana dari masyarakat secara profesional. Ketiganya merupakan manifestasi gerakan Muhammadiyah yang berdimensi kemanusiaan global, tanpa memandang suku, ras, golongan dan agama (Thohari, 2020). Melalui trisula baru ini, tentunya Muhammadiyah memiliki kemampuan besar untuk memobilisasi anggotanya dalam mengupayakan perubahan  kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Indonesia kearah yang lebih peduli terhadap kondisi lingkungan.

Selain melakukan perubahan paradigma dan juga gerakan kemanusiaan yang memiliki kesadaran lingkungan, Muhammadiyah juga ikut aktif pada aspek politik-hukum dalam mengkaji, mengubah dan mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat dan lingkungan. Seperti halnya undang-undang yang dibuat oleh lembaga politik, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining (tawar menawar) yang bermuara pada kompromi (dapat juga konsensus atau kesepakatan) politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang bahkan sama sekali tidak mencerminkan kepentingan umum. Disinilah gagasan ‘Jihad Konstitusi’ menemukan urgensitasnya sebagai salah satu bentuk pengawasan ekstra-parlementer dan manifestasi dari nilai-nilai masyarakat madani yang demokratis dan mampu menjadi mitra dialog dengan Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang sedang dan akan ditempuh (Hamdanny, 2022).

Jihad konstitusi, bagi Muhammadiyah sangat penting untuk mewujudkan cita-cita agar bangsa ini berjalan ke arah yang semestinya. Beberapa produk hukum yang menyalahi konstitusi dan berhasil diubah oleh Muhammadiyah antara lain UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan UU strategis lainnya (Argenti, 2017).  Akan tetapi, dua tahun pandemi Covid-19 membuat Pemerintahan dan DPR mengesahkan beberapa RUU menjadi UU yang menyisakan banyak ruang untuk dikoreksi karena proses legislasi yang tak transparan dan substansi perundangan yang jauh dari nilai-nilai keadilan.

Melihat kondisi politik Indonesia yang masih memiliki banyak PR dan belum menunjukan keberpihakannya kepada isu-isu lingkungan membuka ruang strategis-kritis bagi Muhammadiyah untuk melakukan green political movement. Merujuk kepada tiga ciri Muhammadiyah hari ini sebagai pelopor paradigma teologi ekosentris, gerakan kemanusiaan berbasis ekologi, serta jihad konstitusi, Muhammadiyah dapat menyentuh berbagai pihak dari segala lapisan untuk lebih fokus terhadap isu lingkungan yang sudah mengancam keberlangsungan hidup manusia. Tentu saja gerakan green politics Muhammadiyah masih jauh dari kata selesai. Namun, jika melihat rekam jejak historis Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan zaman lebih dari satu abad. Bukan hal yang tidak mungkin baginya untuk membawa Indonesia kearah yang lebih baik lagi, khususnya dari aspek lingkungan.

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/