Menuju Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional: Refleksi Hari Krida Pertanian

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi melimpah dari sektor pertanian. Potensi tersebut memiliki peranan penting dalam menciptakan kemandirian menuju ketahanan pangan nasional.

Dalam rangka peringati Hari Krida Pertanian setiap tanggal 21 Juni, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta (FTan UMJ) Dr. Ir. Sularno, M.Si., menyampaikan bahwa kemandirian dan ketahanan pangan adalah dua hal yang berbeda, namun sangat erat kaitannya. Hal itu ia sampaikan dalam sesi wawancara tim redaksi website UMJ di Ruang Dekan FTan UMJ, Kamis (12/06/2025).

Kemandirian dan Ketahanan Pangan

Secara sederhana, kemandirian pangan menurut Sularno adalah keadaan suatu negara mampu menghasilkan produk pangan sendiri yang cukup untuk dikonsumsi oleh penduduknya tanpa tergantung pada impor. Produk-produk tersebut adalah hasil pertanian dalam negeri.

Sementara itu, ketahanan pangan merujuk pada kondisi cadangan bahan pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu tertentu. “Ketahanan pangan dapat dicapai baik dari hasil produksi dalam negeri maupun dari impor, tetapi idealnya ditopang oleh kemandirian pangan,” jelas Sularno yang juga merupakan Koordinator Tingkat Wilayah II se Jawa Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Ilmu Pertanian Indonesia (APTS-IPI) tahun 2024-2027.

Kondisi Kemandirian dan Ketahanan Pangan Indonesia Saat Ini

Sularno, yang juga Ketua I Forum Pimpinan Ilmu Pertanian PTMA tahun 2023-2026 ini menyebutkan kondisi tersebut saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup positif terutama dalam hal ketahanan pangan untuk komoditas pokok seperti beras. Bahkan, dalam program prioritas nasional, ketahanan pangan berada di urutan kelima.

“Stok beras kita melampaui tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didukung oleh panen raya yang sukses, harga gabah yang baik, dan peran aktif Bulog dalam menyerap hasil panen,” ujarnya.

Namun, untuk kemandirian pangan, Sularno mengatakan saat ini masih belum tercapai. Hal ini dikarenakan masih melakukan impor untuk sejumlah komoditas seperti bawang putih. Padahal terdapat beberapa daerah yang memiliki potensi untuk memproduksi komoditas tersebut, seperti Lembang, Pangalengan, Berastagi, dan Tawangmangu.

“Kita juga masih belum mandiri dalam buah-buahan seperti anggur, yang saat ini sedang mulai digalakkan penanamannya di berbagai wilayah,” tambahnya.

Pentingnya Diversifikasi Pangan

Meskipun stok beras sudah melimpah, Sularno menekankan bahwa ketahanan pangan tidak bisa hanya bergantung pada beras. “Ketergantungan yang tinggi terhadap beras akan berbahaya jika suatu saat produksi beras menurun,” ungkapnya.

Maka dari itu, Sularno mengatakan diversifikasi pangan menjadi hal penting untuk menghindari ketergantungan.

“Karena itu, pangan alternatif perlu diperkenalkan, terutama kepada generasi muda. Indonesia kaya dengan bahan pangan alternatif seperti jagung, sorgum, uwi, gembili, gadung, dan lainnya. Sayangnya, banyak anak muda yang tidak mengenal bahan-bahan ini,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu memperkenalkan dan memodifikasi olahan pangan alternatif agar lebih menarik dan dapat diterima oleh generasi muda.

Tantangan dan Solusi Permasalahan Dunia Pertanian

Salah satu tantangan terbesar dalam pertanian di Indonesia, menurut Sularno adalah keberadaan tengkulak yang membuat petani tidak sejahtera. Ia menilai tengkulak ini hanya memperkaya dirinya sendiri, sedangkan petani tetap miskin.

“Pemerintah perlu menghilangkan peran tengkulak secara bertahap. Petani harus diberi akses langsung ke pasar atau melalui koperasi,” tuturnya.

Ia mengapresiasi inisiatif pemerintah membentuk Koperasi Merah Putih, yang dapat menjadi tempat distribusi pupuk, pestisida, dan penjualan hasil panen tanpa harus melalui tengkulak. Selain itu, penyuluhan dan edukasi pertanian harus diperbanyak sampai ke tingkat desa.

“Penyuluh ini akan memberikan edukasi, teknologi, dan pendampingan kepada petani. Pendidikan petani harus terus ditingkatkan agar mereka bisa menguasai teknologi pertanian modern,” ujarnya.

Selain permasalahan tengkulak, Sularno juga menyoroti permasalahan budaya konsumsi masyarakat Indonesia. Budaya masyarakat yang menganggap bahwa ‘belum makan jika belum makan nasi’ menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan diversifikasi pangan.

Meskipun di kota-kota besar, masyarakat sudah mulai mengurangi konsumsi nasi. Tapi di pedesaan, terutama bagi mereka yang bekerja keras di sektor pertanian, nasi masih menjadi kebutuhan utama. “Maka, edukasi dan pendekatan budaya harus dilakukan dengan bijak agar konsumsi pangan lebih bervariasi,” sambungnya.

Makna Hari Krida Pertanian

Sularno memaknai Hari Krida Pertanian sebagai momentum yang penting untuk menghargai jasa para petani dan mendukung kemajuan sektor pertanian.

Ia menegaskan dengan kemajuan petani, peningkatan teknologi, dan produktivitas yang tinggi, maka kemandirian pangan bisa tercapai. “Kemandirian pangan ini akan menopang ketahanan pangan nasional kita,” tutupnya.

Hari Krida Pertanian diperingati sebagai simbol kebersamaan dan rasa solidaritas antar pelaku di sektor pertanian. Hari Krida Pertanian pertama kali diperingati pada tahun 1972.

Tanggal 21 Juni ditetapkan sebagai Hari Krida Pertanian Nasional karena bertepatan dengan dimulainya musim tanam menurut sistem penanggalan tradisional Pranata Mangsa. Sistem ini masih dimanfaatkan oleh banyak petani di Indonesia untuk merancang kegiatan pertanian dan juga aktivitas nelayan seperti menangkap ikan.

Penulis: Alwi Rahman Kusnandar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata Pakar Lainnya