Childfree Dalam Pandangan Psikologi Anak

Fenomena Childfree dan Psikologi Anak

Isu childfree saat ini sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia yang terpicu oleh pernyataan pasangan influencer Gita Savitri dan Paul Partohap yang blak-blakan mengungkap pilihan mereka tidak ingin memiliki anak. Hal ini langsung menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terlebih karena pilihan ini dikaitkan  dengan gaya hidup.

Istilah childfree itu mengacu pada keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Sepasang suami istri memang berhak memutuskan apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak (childfree). Keputusan itu dibuat atas pertimbangan bersama dengan memerhatikan aspek kesehatan reproduksi, usia, atau pertimbangan yang bersifat personal lainnya.

Pakar psikologi anak Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Rohimi Zam Zam, S.Psi., S.H., M.Pd., mengatakan bahwa keputusan setiap pasangan tidak mau memiliki anak merupakan suatu hal yang sudah mereka pertimbangkan, bahkan ada sisi psikologisnya.

Masalah karir adalah hal yang sering menjadi alasan pasangan memilih childfree. Mereka memilih tidak punya anak demi mengejar karir. “Ada pasangan yang mengutamakan karir,  mengukur kebahagiaan berdasarkan pencapaian karirnya, lalu memilih tidak mau memiliki anak. Itu merupakan salah satu dari beberapa pilihan yang memang bisa saja dipilih pasangan tersebut,” ungkap Rohimi.

Kondisi kesehatan mental yang tidak stabil dan cenderung memiliki kekhawatiran saat memiliki anak menjadi pertimbangan lainnya. Terutama pada perempuan yang belum siap menjadi seorang ibu. Perempuan dengan kondisi mental yang tidak stabil dikhawatirkan akan mempengaruhi pola asuh anak, bahkan kehidupannya di masa depan

Rohimi menegaskan perlu adanya edukasi awal, seperti pelatihan pra nikah dan parenting, sebagai upaya memberikan pemahaman tentang berumah tangga kepada mereka yang hendak menikah. Demikian juga dalam pengambilan keputusan memilih childfree, dimana pasangan itu perlu melibatkan keluarga besar dan tidak hanya keputusan dua individu saja.hal ini harus dirundingkan dengan orang tua masing-masing pasangan untuk menghindari berbagai kesalahpahaman.

“Keterlibatan kedua keluarga besar ini sangat penting. Karena besar kemungkinan orang tua mereka justru berharap anaknya yang baru menikah itu segera punya anak,” papar Rohimi lebih lanjut.

 

Dampak Pola Asuh

Masih berkaitan dengan keinginan childfree dan ketakutan memiliki anak, Rohimi lantas memaparkan tentang pola asuh anak dan dampaknya. Pola asuh orang tua tentunya akan menentukan pembentukan karakter anak. Kesalahan pola asuh akan memberi dampak negatif pada anak, terutama pada psikologisnya.

“Salah satu dampak dari salah pola asuh adalah anak takut mengemukakan pendapat. Saat berdiskusi dengan orang tuanya mereka takut menyampaikan sesuatu yang ia ingin katakan,” ungkap Rohimi.

Dampak lainnya adalah anak terlambat dalam berpikir secara dewasa. Anak yang dimanja dan dituruti segala keinginannya akan merasa bahwa ia selalu jadi pemenang. Anak seperti ini akan terlambat berpikir dewasa, bisa jadi pikiran anak lebih muda 5 tahun dari usia seharusnya. .

Rohimi menghimbau agar orang tua sedini mungkin membiarkan anaknya mengambil keputusan sendiri. Biarkan anak berani mengambil keputusan selama itu masih dalam hal kebaikan. Orang tua baru memberikan arahan dan bimbingan jika si anak salah mengambil keputusan.

Dampak paling dominan dari pola asuh yang salah yakni emosi anak belum matang, di mana seharusnya pada fase ini emosi anak sudah tertata. Karena emosi yang kurang matang, mereka kerap kali mengalami trauma terhadap  hal buruk yang pernah dialami. Parahnya, trauma tersebut relatif sulit disembuhkan. Di sinilah  orang tua mengambil peran memberikan pengasuhan dam bimbingan agar anaknya bisa melewati fase ini.

Selanjutnya, dampak dari pola asuh yang salah adalah banyak anak yang sulit untuk bersosialisasi atau berbaur dengan lingkungan sekitar. Anak lebih memilih mengurung diri lebih lama di rumah bersama keluarganya yang akan membuat kondisi psikis mereka terkekang dan tidak mengenal dunia luar. Salah satu cara terbaik dalam mengatasi kesulitan bersosialisasi ini adalah dengan mengubah mindset anak dan mengarahkannya keluar dari zona nyaman di dalam rumah.

Setiap anak memiliki kebutuhan fisik dan emosional yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada usia, kepribadian, dan tahapan perkembangannya. Usia anak yang memerlukan perhatian lebih dari orang tua adalah pada masa golden age (usia emas), yaitu sejak usia nol hingga lima tahun, dimana pada fase ini pertumbuhan anak berkembang begitu pesat sehingga perlu perhatian lebih dari orang tuanya.

Rohimi menjelaskan bahwa 50% kecerdasan anak mulai terbentuk di usia empat tahun. Kemudian di usia delapan tahun kecerdasannya akan meningkat sekitar 80%, lalu  akan mencapai total kecerdasannya sampai usia 18 tahun.

“Menjadi orang tua itu adalah sebuah karir 24 jam. Menjadi orang tua adalah sebuah kewajiban dimana tugasnya adalah mendidik anak. Orang tua akan sangat bahagia jika berhasil mendidik anaknya dengan baik,” tegas Rohimi.

Fenomena childfree hendaknya menjadi perhatian bagi semua pihak. Keputusan pasangan dalam memilih childfree cenderung karena mereka tidak siap dengan segala resiko yang akan muncul di kemudian hari. Alih-alih berusaha untuk meminimalisir resiko mereka malah memilih tidak mau punya anak. Menjadi orang tua memang tidak mudah. Ketidaksiapan kita menjadi orang tua akan berdampak pada kesalahan pola asuh anak. Hendaknya persiapkan dulu terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berkeluarga. (KH/KSU)

Kata Pakar Lainnya

pkv games
bandarqq
dominoqq
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/dominoqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/bandarqq/
https://themeasuredmom.com/wp-includes/js/pkv-games/