Secara formil, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) konstitusional berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hal ini disampaikan oleh Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH., MH., saat menjadi narasumber dalam agenda Diskusi Media dengan tajuk Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja, yang digelar oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (IKAFH Undip) dan Kolegium Jurist Institute secara daring, Sabtu (7/01).
Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (FH UMJ) tersebut, dengan konstruksi Perppu yang sudah ada di kekuasaan Presiden, sebenarnya untuk tujuan politik (political circumstances) tertentu, bahkan ekonomi (economic circumstances), jadi dalam kenyataannya bukan semata-mata untuk kebutuhan hukum saja. “Perppu adalah the necessary evil yang harus ditempuh, karena keadaan yang tidak semestinya,” ujar Ibnu.
Dalam hal Presiden yang mempunyai kekuasaan kebijakan, terdapat juga aspek keseimbangan oleh DPR termasuk aspek meaningful participation. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, masyarakat mempunyai double filter yaitu melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan ke DPR. “Pada akhirnya tindak lanjut Judicial Review melalui Perppu dikenal dalam ragam doktrin tindak lanjut Putusan Judicial Review. Sehingga bukan hal yang haram bahwa Perppu sebagai bentuk tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi, menjadikan Perppu Cipta Kerja dapat dikualifikasi konstitusional,” pungkasnya.
Agenda dihadiri juga oleh Guru Besar FH Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, SH., MH., Dekan FH UM Kalimantan Timur Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH., MH., dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat IKAFH Undip Dr. Ahmad Redi, SH., MH. Selain itu, para mahasiswa, stakeholder dari pemerintah hingga swasta pun turut mengikuti kegiatan.
Satya menyampaikan materi tentang Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja dari Perspektif Hukum Tata Negara Darurat. Ia merujuk pada teori State of Exception dari Carl Smith, Constitutional Dictatorship dari Clinton Rossiter, The Executive Unbound dari Eric Posner dan Adrian Vermule, serta Structure of Emergency Powers dari John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, dengan Parameter Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. “Berdasarkan teori Hukum Tata Negara Darurat dan Hukum Positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 adalah konstitusional. Dengan demikian, tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perppu Cipta Kerja,” tutur Satya.
Sementara itu, Aidul memulai pembahasannya dari kronologis yang berkaitan dengan Perppu dalam UUD NRI 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Perppu sebagai instrumen demokrasi, hingga pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Bahwa Perppu merupakan penyelamat dari Putusan Mahkamah Konstitusi, yang di mana secara kemanfaatan sangat bermanfaat karena sebelumnya dipengaruhi oleh adanya penurunan legislatif/DPR, sehingga atas dasar Pasal 22 UUD NRI 1945, keluarlah Perppu tersebut,” ucap Aidul.

Diskusi Media yang dimoderatori oleh Dosen FH Universitas Borobudur Dr. Tina Amelia, SH., MH. digelar dalam rangka merespon apa yang terjadi terhadap polemik diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. Redi menambahkan bahwa ini menjadi hal yang wajib dibahas, karena menuai pro dan kontra untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden sesuai dengan teori, dogmatika, dan pengaturan hukum. Kegiatan ini dapat ditonton kembali siaran ulangnya di youtube IKAFH UNDIP official. (QF/KSU)